Perempuan itu duduk di kursi memandang keik sederhana dengan label gluten-free yang ia beli untuk dirinya sendiri. Hanya sebuah lilin yang bertengger di atas kue itu, alih-alih angka dua dan lima. Ia memandang kosong ke langit.
"Aku ternyata sudah setua ini"
Betul. Nggak perlu risau.bener-bener nggak seburuk itu. Ternyata rasanya biasa saja seperti kamu memasuki usia 17 tahun. Bedanya ini sama sekali nggak sweet. Bittersweet bolehlah. Kalo kamu punya circle pertemanan yang luas, ya selamat, ucapan mengalir lewat snapchat membludak. Kalo circlemu cuma seluas daun kelor ya, nikmati hari ulangtahunmu dengan meratapi inboxmu yang kosong. Tapi sumpah ya ucapan ulangtahun benar-benar udah nggak sepenting itu.
"Aku sudah melakukan apa saja selama ini?"
"Kenapa aku tidak seperti mereka? Kenapa hidupku seperti ini terus?"
"Aku harus ngapain ya?"
"Aku tidak bersemangat"
Kamu harus bangun dan berhenti scroll media sosialmu supaya kamu nggak bingung dan merasa nestapa dengan pencapaian orang lain.
"Aku ingin pergi saja"
Kamu mau ke mana sih? Emang kamu tau apa yang kamu hadapi kalo kamu pergi?
"Aku kenapa sih?"
Kamu lagi quarter life crisis. Sesuatu yang normal banget kamu rasain di usia kamu. Tuntutan di luar sana pasti bener-bener terasa berat di pundak ya.
***
Mayoritas orang dewasa terutama perempuan benci sekali membahas umur. Karena membahas umur berarti mengingat segala beban sosial yang mengiringi pertambahan angkanya. Kita tidak perlu menafikkan bahwa pada masyarakat tertentu, asumsi yang berkembang adalah peralihan umur juga menandai satu dari sekian transisi-transisi hidup; dari remaja menjadi dewasa, dari menganggur menjadi bekerja, dari dibiayai orangtua menjadi mulai dilepas seutuhnya, dari sendirian menjadi berpasangan, dari kelas bawah menjadi kelas menengah, dst. Beban-beban soal transisi hidup inilah yang memicu munculnya quarter life crisis atau krisis seperempat baya. Saya nggak akan menjelaskan ini sih, tapi krisis ini betul-betul dirasakan oleh mayoritas orang dewasa. Termasuk saya. Banyak orang dewasa mengalami serangan panik, perasaan depresi, dan tertekan karena mereka benar-benar bingung dengan saking banyaknya pilihan atau kadang merasa malah tidak ada pilihan sama sekali.
Saya sih nggak bakal ngasih solusi apa-apa di sini. Justru saya malah mau berkeluh kesah cerita pengalaman sih. Pertama kalinya saya merasakan kekhawatiran berlebih adalah ketika saya mengerjakan skripsi. Sebenernya sejak awal diterima di UGM, saya dengan penuh kesadaran mengakui bahwa saya bisa masuk di kampus bergengsi tersebut adalah karena faktor keberuntungan dari Allah. Karena hal itu juga muncul kekhawatiran dalam diri saya, bahwa saya bisa masuk tapi nggak bisa keluar dari sana. Bayangkan pujian-pujian dan rasa bangga orang-orang keetika ketrima di UGM bakal berubah jadi cemoohan kalo sampai saya nggak lulus dari sana. Tapi kekhawatiran itu dikaburkan oleh pengalaman-pengalaman serba perdana yang saya dapatkan. Ketika saya sampai pada tahap skripsi, kekhawatiran saya muncul lagi dan makin menjadi-jadi. Apalagi saya mendapatkan pembimbing yang terkenal killer dan perfeksionis. Saya bahkan sudah ditakut-takuti duluan oleh teman saya, "kating-kating lo pada belum lulus bimbingan sama bu A." Dan saya betul-betul merasa takut karena segan kepada pembimbing saya. Setiap kali saya mau chat, saya baca berungkali sebelum saya kirimkan. Setiap saya mau masuk ke ruangan beliau, maju mundur dulu saya menyiapkan mental. Setiap mendapat pesan suara ketika bimbingan online berdebar jantung saya saking takutnya. Tapi saya akhirnya toh selesai juga. Nggak bagus-bagus amat tapi setidaknya saya lulus. Alhamdulillah.
Tapi ketenangan itu hanya bertahan sebentar, setelah saya resmi dinyatakan lulus, saya didhawuhi untuk khidmah dalam kepengurusan pondok. Sesuatu yang tidak hanya sulit, tapi rasanya mustahil saya bisa lalui mengingat pengalaman saya di kepengurusan yang nol besar. Tapi ketika saya mengutarakan itu kepada ibunda nyai, jawaban beliau,"ra perlu minder wong nduwe quran kok (tidak perlu rendah diri, punya Al-Quran kok)." Saya akhirnya menyadari pesan itu di akhir periode kepengurusan. Tapi periode kepengurusan itu adalah masa-masa di mana mental saya benar-benar dilatih. Saya yang jarang sekali bersuara di depan umum dan berbicara dengan lawan jenis terutama ketika di pondok, harus memaksa diri memimpin rapat, berani mengeluarkan ide dan menyanggah, mengalami konflik dengan berbagai pihak, serta banyak berinteraksi dengan lawan jenis. Beberapa hal yang menjadi momok saya bertahun-tahun. Yang mengenal saya lama tentu sadar dengan perubahan-perubahan saya. Tahun pertama kepengurusan, buat saya adalah tahun menempuh keikhlasan. Minggu-minggu pertama setelah saya dilantik isinya perasaan sesak yang menyempitkan dada, susah tidur setiap malam karena rasa lelah dalam pikiran, dan curhatan tiada henti pada ibu saya tentang betapa susahnya untuk ikhlas dan ikhlas. Tapi saya akhirnya pun sampai di akhir periode juga, tidak methal (keluar) di tengah jalan. Dan hikmah-hikmahnya banyak yang saya rasakan justru setelah saya boyong dari sana.
Lalu saya memasuki umur 25. Ketika saya memasuki usia 25 tahun beberapa bulan lalu, saya merasa biasa saja. Tidak susah, tidak sedih juga. Tidak ada hal istimewa. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi kemudian, di umur inilah, saya pertama kali merasakan patah hati dalam hidup saya. Hanya beberapa hari setelah hari ulangtahun saya. Ternyata lumayan juga rasanya. Saya tidak menangis. Hanya saja saya tidak bisa tidur dan tidak nafsu makan berhari-hari. Saya juga menonaktifkan hape saya. Sampai akhirnya saya memilih untuk pulang sehari semalam ke rumah bulek saya, tanpa sepengetahuan orangtua dan bu nyai saya. Saya merenungi bahwa ternyata saya akhirnya akan sampai pada fase ini juga. Fase patah hati dan lucunya di saat yang hampir bersamaan mendapat label picky dari orang yang bahkan tidak pernah ada urusan dengan saya. Lucunya hal kayak gini aja bikin saya overthinking. Ada-ada saja ya wkwkwk.
Krisis-krisis seperti ini akan terus saya dan anda rasakan secara silih berganti. Akan selalu ada masalah dalam hidup, tapi akan selalu ada Tuhan untuk kasih solusi. Saat tulisan ini ditulis, sedang ada banyak hal berkecamuk dalam pikiran saya. Tapi saya rasa saya sudah lebih dewasa. Saya belum merasa sempurna, dan tidak akan pernah. Tapi saya rasa diri saya sudah jauh lebih siap dari sebelumnya.