Secangkir Kopi Dingin

Januari 23, 2020


Aku lahir di kampung Sukamaju. Sebuah nama yang sangat mainstream bukan untuk sebuah kampung? Mungkin nama kampungku mengingatkan kalian dengan nama desa di buku pelajaran SD kalian. Tidak, tidak. Nama kampungku tidak terinspirasi dari buku pelajaran SD. Karena Mbah Joyo, perintis kampungku, konon bahkan tidak menyentuh bangku sekolah. Namun ia tahu, maju berarti bergerak ke depan. Maka ia namakan kampung kami Sukamaju.
Sukamaju adalah kampung yang cukup majemuk, ada keluargaku yang suku Jawa, keluarga Inong yang pindah dari Aceh, keluarga Ustadz Anto yang penganut Islam taat atau keluargaku yang Islam moderat. Tak ketinggalan pula keluarga si cantik Kristina, teman sekelasku di bangku sekolah dasar, yang merupakan pelayan gereja yang setia. Keluarganya juga bukan satu-satunya umat nasrani di kampungku.
Dengan segala perbedaanya, kampungku boleh dibilang cukup kondusif. Tak ada yang terganggu dengan suara keras toa musholla, atau merasa tergerus keimanannya dengan kerasnya paduan suara di kapel mungil dekat rumah Kristina.
Setidaknya sampai dua tahun lalu.
****
Saat itu aku baru saja diterima di sebuah perguruan tinggi bergengsi di Malang. Ketika kulihat berita headline sebuah berita di Koran, seorang mantan kepala daerah ditahan karena dianggap menista sebuah agama. Aku sebenarnya bukan orang yang melek dengan situasi sosial-politik di Indonesia. Berhubung sejak SMA, minatku di pengetahuan alam. Bahkan sampai sekarang. Tapi headline berita itu mendorongku untuk browsing lebih lanjut.
Kudengarkan dengan seksama pidato yang mana yang membuat mantan kepala daerah itu dianggap menista agama. Lah gini aja? Batinku. Setelah itu aku tak terlalu mengikuti perkembangan kasus itu lagi. Yang kutau, mantan kepala daerah itu mendekam dua tahun di penjara. Ah yasudahlah, batinku lagi. Mungkin jaksa lebih tahu. Mungkin diksinya memang salah. Atau mungkin niatnya memang melecehkan agama itu. Agamaku. Islam.
Dua bulan kemudian, di masa liburan semester, aku pulang ke kampungku. Sukamaju. Aku rindu bapak dan ibu. Aku rindu Inong, dan tentu saja, aku sangat merindukan Kristina. Mereka, Inong dan Kristina, dua gadis manis yang sudah jadi sahabatku semenjak sekolah dasar.
Perjalanan Malang ke Jogja terasa sangat panjang, aku tidak sabar lagi. Maka segera saja ku chat Kristina dan Inong melalui whatsapp. Aku sampai Jogja jam 5 sore.
Aneh. Kristina terakhir online dua bulan yang lalu. Sedangkan Inong tak juga membalas chatku. Meski kami bersahabat, memang semenjak kuliah kami jarang bertukar kabar, apalagi praktikum dan berbagai kompetisi menyita waktuku. Meski begitu, kejadian-kejadian penting dalam hidupku selalu kuceritakan pada mereka. Begitu pula sebaliknya.
Pikiranku tidak tenang. Pertanyaan-pertanyaan mencuat dalam kepalaku. Ada apa sebenarnya.
***
Keputusan bapak dan ibu sudah bulat. Aku akan masuk pesantren. Aku tidak masalah. Belajar di manapun sama saja.
Maka hari itu, 6 tahun lalu, aku menginjakkan kakiku ke pesantren asuhan Yai Ahmad di Malang. Pesantren Yai Ahmad adalah pesantren kitab salaf. Di mana ilmu agama sangat dijunjung tinggi dan kyai amat sangat disegani.
Bekal sedikit pengetahuan tentang kitab kuning dari bapak, membuatku menyerap cepat ilmu yang diajarkan di sana. Maka dalam kurun waktu 6 tahun, 1000 bait Nadzam alfiyah ibn Malik sudah kuhafalkan. Dan puluhan kitab sudah kupelajari. Aku jadi santri kesayangan Yai Ahmad. Ke mana-mana beliau pergi, selalu ada aku yang mengantar beliau.
Sampai suatu ketika, Yai Ahmad memanggilku ke ndalem, dini hari sekitar pukul 3 pagi. Aku terkesiap. Tidak biasanya. “Assalamu’alaikum yai,” ucapku mengetuk pintu kamar beliau. “Mlebuo (masuklah).” “Nang, anakku wadon wis nembe lulus (nak, anak perempuankuk baru saja lulus”.” Firasatku tak baik. “Awakmu ora ana calon tah? (kamu tidak ada calon istri kan?)” Benar saja. Aku diam. Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku tidak mencintainya. Putri kiaiku. Terlintas dalam pikiranku saja tidak.
Hari itu, pikiranku benar-benar tidak tenang. 6 tahun pengabdianku kepada Yai, tidakkah cukup? 6 tahun pengabdianku pada beliau, berujung seperti ini? Ah, aku ingin berkata kasar.
Akhirnya hari itu juga, aku mantap berkata tidak pada Yai Ahmad. Detik itu juga aku pamit. Aku sakit hati. 6 tahun pengabdianku, tidak berarti apa-apa rupanya di mata beliau. Beliau murka.
Tapi biarlah, bagiku mencintai adalah hak asasi. Sekali hakku terenggut, aku berhak pula membelanya. Aku tak peduli beliau tak merelakanku. Aku ingin memperjuangkan cintaku.
Aku pindah ke kost dekat kampus. Aku ingin melupakan semuanya. Melupakan pesantren dan semua kenangannya.
***
Aku dan Inong berteriak di luar pagar rumah Kristina sambil membawa ember bekas dan dirigen bekas. “Kristinaaaaa, ayolaaah.” Pintu rumahnya terbuka. Pak Frans. Ayah Kristina. Aku tersenyum, Inong tersenyum. Pak Frans hanya tertawa. “Kristinaaa, gek ooo (buruan)” Kristina keluar sambil menguap dan mengucek matanya yang masih penuh tai mata. Aku tertawa. Dia tetap cantik, batinku. Matanya berbinar melihat bawaan kami.
“Sahur-sahur…” Teriak Kristina. Suaranya memang merdu, bahkan untuk sekedar berteriak saja. “Kau sudah kerjakan PRmu?” aku menoleh. “Sudah dong. Cuma perkalian peacahan mah, gampang.” Kataku. “Dasar!!!” Balas Inong sambil menjitak kepalaku. “Apa! Awas kau minta ajar aku nanti.” Balasku sambil tertawa. “Kau mau balas jitak kepalaku?” “Tentu tidak, aku ‘kan menghargai teman perempuanku.” Sahutku sampil sambil menepuk dada.
***
Kutelpon Inong berkali-kali. Ia tak mengangkatnya sama sekali. Padahal beberapa kali tadi dia sempat online. Tiba-tiba notifikasi WA muncul. Inong! Kita bertemu di Kopi Sonja dekat Malioboro, begitu sampai. Singkat. Ada apa sebenarnya? Biasanya bila aku pulang ke Jogja, begitu mengirimkan chat pada Kristina dan Inong, mereka akan membanjiri chatku dan langsung menelponku. Telepon video. Bertiga. Tapi sekarang, Inong hanya membalasku dengan chat singkat. Sedangkan Kristina, bahkan tidak aktif sejak lama. Pikiranku tambah kalut.
***
            Bapak seorang pribadi yang sangat ramah meski perangainya sebenarnya keras. Bapak sangat dekat dengan tetangga lapaknya di Malioboro yang keturunan Cina. Ko Tian namanya. Ko Tian sering bertandang ke rumahku. Bercengkerama dengan bapak. Bicara banyak. Sambil menghisap lintingan tembakau yang ia bawa sendiri dari rumahnya. Terkadang aku duduk di antara mereka. Menyimak obrolan mereka sambil memangku dagu dengan tanganku. Karena apa yang mereka obrolkan, satupun tak  ada yang aku tahu. Aku hanya mengingat kata-kata menarik dalam obrolan mereka, pluralisme. Kata-kata yang kelak akan sangat familiar di masaku.
            Aku ingat sekali, waktu itu masa-masa pemilihan presiden. Bapak dan Ko Tian berbeda pilihan. Tapi bapak selalu mengatakan pada Ko Tian, “aku menghormati pilihanmu dalam pemilu, sebagaimana aku menghormati pilihanmu dalam keyakinanmu.” Dan setelah mengucapkan kalimat itu, bapak menyesap kopinya dalam. Ko Tian tersenyum.
***
Kopi Sonja, Januari 2017
Langit gelap. Hujan deras di luar. Klakson bersautan. Orang-orang sudah mulai jengah di jalanan. Begitu tiba, Aku mencari ke seluruh penjuru kafe kecil itu. Inong, sahabatku, duduk termenung di dekat jendela.
Saat kuhampiri, aroma caramel macchiato menyeruak. Rupanya masih Inong yang sama. Hanya raut mukanya yang berbeda.
“Inong.” Dia agak terkejut. Habis melamun rupanya. “Kenapa di sini?” “Kristina pergi. Keluarga Kristina pergi. Begitu pula Noel, Adrianus, Brigitta.” Ekspresinya datar tapi tangannya bergetar. Firasatku benar. Ada yang tak beres. Lalu mengalirlah cerita Inong. Tak sekalipun ia berhenti. Pun aku. Tak sekalipun memotong. Bahkan secangkir Americano yang kupesan sampai dingin tak tersentuh.
Kristina dan keluarga nasrani yang lain diminta pergi. Mereka terang-terangan mendukung mantan kepala daerah ‘penista agama’ itu. Ustadz Anto geram. Ia menuduh mereka penista, melakukan kristenisasi, dan lantunan pujian mereka dianggap mengganggu warga.
Mata Inong berkaca-kaca. Sedangkan aku? Mataku merah. Aku marah. Aku marah pada orang-orang Sukamaju, marah pada bapak, ibu, Ustadz Anto dan yang lain. “Kamu marah?” “Tentu saja,” kataku. “Di mana Kristina sekarang?” “Aku tak tahu. Terakhir, kudengar keluarga mereka memutuskan ke Jakarta.” “Ah, shit
***
Hatiku membuncah bahagia
Ketika kedengarkan suaramu
Melantunkan pujian merdu
Pada yang kau sebut dengan Bapa
Rasanya semenggetarkan hatiku
Ketika kudengar lantunan mereka
Yang meliuk-liuk
Melanggamkan ayat-ayat magis kitab suciku
            
             “Pak, aku akan ke Jakarta,” tandasku tiba-tiba. “Untuk apa?” “Menemui Kristina,” jawabku mantap. “Kau mencintainya?” “Ya.” “Kau pilih Kristina, maka selesai sudah hubungan kita nak. Bapak sudah cukup menahan kesabaran ketika kau menolak dhawuh Yai Ahmad. Dan sekarang? Namanya kau menggadaikan imanmu.” Bapak murka. Sangat murka. Sekeras apapun beliau, tak pernah ia menunjuk-nunjuk mukaku. Matanya memerah. Ia menangis. Satu-satunya anak yang ia harapkan, meruntuhkan semua harapannya. Di sudut rumah, ibu terisak.
            Aku tak peduli. Aku terlanjur marah pada bapak atas kepergian keluarga Kristina. Bapak menghargai pilihan orang. Tapi itu dulu. Sekarang, bahkan pilihan anaknya pun tak ia hiraukan.
            Maka siang itu, kukemasi seluruh bajuku. Bapak memalingkan muka. Ibu menangis terisak sambil masih terus membujukku. Aku memeluk ibu. Kukatakan bahwa aku tetap  mencintainya, mencintai bapak, menghormati mereka, sejauh apapun hubunganku dengan mereka. Tapi aku sudah membulatkan tekadku. Aku akan ke Jakarta. Aku akan menemukan Kristina. Akan kukatakan padanya bahwa aku mencintainya.
***
Begitu tiba di Stasiun Senen, aku langsung memesan taksi menuju alamat yang terngiang dalam kepalaku. Alamat yang selalu diceritakan Kristina dalam chatnya. Sebuah Gereja Mungil. Gereja Sion namanya. 15 menit perjalanan terasa begitu lama.
Ketika sampai di sana, ternyata sedang ada acara. Kata seorang penjaga di sana, itu upacara kematian. Oh begitu, batinku.
Tapi begitu kulihat lamat-lamat karangan bunga berjejer di depan gereja. Lututku lemas. Elizabeth Lusia Kristina. Itu nama Kristina. Kristinaku yang kucinta. Kristina ku telah pergi. Sebelum aku mengatakan aku mencintainya. Sebelum aku  minta maaf padanya. Minta maaf untuk semuanya.
Aku telah meninggalkan kedua orangtuaku, membuat marah kyaiku, dan kini Kristina meninggalkanku. Aku sendirian.



*Karya ini merupakan sedikit pengubahan dari karya yang kukumpulkan untuk kelas Creative Writing di jurusanku

You Might Also Like

0 komentar