Analisa Hubungan Internasional: Konflik Amerika dan Turki

September 25, 2019

Perspektif Realisme dalam Memandang Konflik Amerika Serikat dan Turki


Hasil gambar untuk konflik Amerika dan Turki
Presiden AS, Donald Trump dan Presiden Turki, Recep  Tayyip Erdogan
(sumber:www.voaindonesia.com)

Sebagai dua negara yang sama-sama menjadi bagian dari NATO (North Atlantic Treaty Organization), hubungan Amerika Serikat dan Turki sudah mempunyai sejarah yang cukup panjang meski sebenarnya hubungan diplomatik keduanya sudah jauh terjadi sebelum terbentuknya NATO yakni sejak 1831 ketika AS membangun hubungan diplomatik dengan kekaisaran Ottoman atau Kesultanan Utsmaniyah. Kemudian, setelah Perang Dunia pertama dan berdirinya republik Turki, AS resmi menjalin hubungan diplomatik dengan Turki pada tahun 1927 (US Relation with Turkey, par. 1)
Namun, baru-baru ini hubungan keduanya kian memanas. Hal ini berawal karena Turki menangkap seorang pendeta berkebangsaan AS dalam operasi penumpasan besar-besaran disusul setelah adanya dugaan usaha kudeta terhadap presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan pada musim panas 2016.  Brunson dituduh sebagai anggota mata-mata dan punya andil membantu jaringan terorisme di Turki karena mempunyai keterkaitan dengan musuh utama Erdogan, Fethullah Gulen seorang ilmuwan Turki yang juga pemimpin FETO, organisasi yang dicurigai sebagai kelompok terorisme oleh pemerintahan Erdogan. Penangkapannya memicu kemarahan Gedung Putih di Washington DC, Amerika Serikat. Tuduhan tersebut dianggap terlalu lemah, sehingga pemerintah AS meminta pemerintah Turki untuk membebaskan Brunson. Dalam negosiasi tersebut, akhirnya Turki mau membebaskan Brunson dengan syarat, AS mau mengekstradisi Fethullah Gulen. Meski permintaan Turki dikabulkan, namun Turki mengingkari janjinya untuk membebaskan Brunson. Brunson hanya dibebaskan dari penjara namun menjadi tahanan rumah di Turki dan tetap dipantau oleh pemerintah. Akibat hal tersebut, pada Agustus 2018 Donald Trump sampai menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap dua menteri utama Turki, Menteri Hukum dan Kehakiman serta Menteri Dalam Negeri, dengan membekukan aset dan properti mereka serta mencegah mereka melakukan transaksi dengan unit usaha AS. Meski pada akhirnya Brunson dibebaskan pada Oktober 2018, konflik tersebut belum juga reda.
Konflik yang pada awalnya terlihat sepele ini menimbulkan konflik-konflik yang lebih besar yang melibatkan Turki dan Amerika dan bahkan berdampak pada keadaan perekonomian Turki. Sanksi lanjutan AS akibat konflik tersebut yang menaikkan tarif impor baja dan aluminium dari Turki telah melemahkan mata uang Turki, Lira pada titik terendah dalam satu dasawarsa terakhir. Dikutip dari CNN.com, sanksi tersebut direspon sengit oleh Pemerintah Turki dengan mengintensifkan serangan dagang yakni menaikkan tarif tinggi terhadap barang-barang asal AS seperti mobil, alkohol dan rokok.
Dalam Ilmu Hubungan Internasional, terdapat beberapa teori yang bisa digunakan untuk mengkaji konflik antara AS dan Turki ini. Salah satu teori yang sangat populer adalah realisme. Realisme adalah teori paling klasik yang sudah muncul sejak zaman Yunani kuno. Sebagaimana dikutip dari The Oxford Handbook of International Relations (2010), teori ini berpusat pada empat gagasan utama: groupism, egoism, anarchy, dan power politics. Yang dimaksud dengan groupism di sini adalah bahwa dalam realisme solidaritas grup mempunyai peran yang amat penting dalam politik domestik, konflik, kerjasama antar pemerintah dalam esensi hubungan internasional. Egoism mengacu pada ungkapan bahwa egoisme merupakan sifat dasar alamiah manusia. Ketika seorang individu atau kelompok mengambil sikap politik umumnya didasari pada kepentingan pribadi. Sedangkan anarchy adalah gagasan bahwa pada dasarnya sistem politik internasional tidak memiliki pemerintah berdaulat yang mengatur sistem tersebut.. Bertumpunya egoism dan groupism tersebut dalam sebuah kondisi yang anarki memicu hubungan internasional berdasarkan pada politik kekuasaan dan keamanan. Perlu diketahui juga bahwa groupism dan egoism dapat digunakan baik dalam politik domestik maupun internasional.
Untuk memahami konflik antara AS dan Turki, ada tiga level analisis yang dapat dipakai; negara, individu, dan sistem. Dalam hal ini maka akan digunakan salah satu saja dari ketiga level analisis tersebut yakni, level individu dengan berfokus pada pribadi presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Erdogan adalah presiden Turki yang menjabat sejak 2014. Sebelumnya ia juga menjabat sebagai Perdana Menteri Turki sejak 2003. Hal ini terjadi karena sebelumnya, kepala pemerintahan Turki (perdana menteri), dipilih oleh parlemen. Pada tahun 2014, untuk pertama kalinya setelah 91 tahun, Turki menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Pada pemilu kedua di tahun 2018, Erdogan kembali terpilih menjadi presiden Turki dengan unggul sebanyak 55 persen dari lawannya, Muharrem Ince (Tirto.id). Di bawah kepemimpinannya, Turki yang awalnya dipandang sebelah mata berhasil menjadi negara dengan ekonomi terkuat ketujuh di Eropa. Maka tidak heran jika dalam total 14 pemilihan termasuk dua pemilihan presiden, dia selalu menang. Sehingga total masa kepemimpinannya berjumlah kurang lebih 16 tahun. Namun dalam konsep penyelenggaraan negara di Turki, presiden hanyalah simbol kepala negara, penentu segala kebijakan adalah perdana menteri. Erdogan yang sebelumnya sudah menjabat sebagai perdana menteri selama 11 tahun ingin mengubah hal tersebut guna mempermudah tujuannya. Hal inilah yang membuat oposisi Erdogan menuduh ia ambisius dan mulai bertindak diktator.
Berkaitan dengan konflik bilateral AS dan Turki, jika dirunut secara hati-hati hingga ke akar permasalahan, konflik ini sebenarnya berangkat dari hubungan buruk Erdogan dengan koleganya, Fethullah Gulen. Padahal keduanya, awalnya merupakan karib yang sama-sama punya andil dalam membangun jaringan politik Islam di Turki. Jika kita mempelajari sepintas tentang sepak terjang Gulen, ia adalah seorang ulama yang cukup disegani di Turki. Gulen mempunyai peran dalam mengembangkan organisasi non-profit yang manfaatnya banyak dirasakan oleh masyarakat luas. Dalam hal politik, Gulen juga punya peran penting terhadap keberhasilan Erdogan menjadi perdana menteri pada tahun 2003. Sebelumnya, Gulen terkenal aktif dalam melawan ideologi sekuler yang berkembang di Turki, hal itu pula yang menyebabkan kepindahannya ke Pennsylvania, AS pada tahun 1999. Pengaruhnya yang cukup kuat membuatnya mempunyai cukup banyak pengikut setia baik di dalam maupun di luar pemerintahan.
Pada dasarnya Erdogan dan Gulen berangkat dari ideologi yang hampir sama yang pada intinya adalah melawan ideologi sekuler. Hal itu pula yang membuat mereka menjadi sekutu politik yang cukup dekat. Namun entah karena apa, belum jelas hingga saat ini mereka berseteru. Yang jelas Gulen dianggap menjadi dalang dibalik berbagi aksi kudeta terhadap pemerintahan Erdogan. Menurut sumber tirto.id, surat penangkap Gulen diterbitkan pada Agustus 2016. Salah satu isinya menyebutkan bahwa Gulen memerintahkan kudeta 15 Juli. Pada 15 Juli sendiri memang terjadi kudeta oleh militer Turki yang menyebabkan 238 orang tewas dan 2.200 lainnya terluka. Ribuan orang di posisi kehakiman, militer dan kepolisian dimutasi dari jabatan mereka dan setidaknya 18.000 orang ditahan karena diduga terlibat kudeta .
Banyak dugaan bahwa Erdogan menjadikan Gulen sebagai kambing hitam dari aksi kudeta Turki lebih karena dendam pribadi. Hal ini berdasarkan pernyataan Gulen sendiri.
Peristiwa yang terjadi di Turki, yang pada akhirnya menyeret negara tersebut ke dalam pusaran konflik dengan Amerika Serikat, sedikit banyak membuktikan teori realisme dalam melihat human nature atau sifat dasar manusia yang selalu ingin berkuasa dan menjadi lebih dominan dibanding yang lain. Bahwa sikap-sikap yang diambil sebuah negara merupakan cerminan dari siapa yang memimpinnya. Keputusan Erdogan untuk menahan Brunson sebagai buntut perlawanannya terhadap segala hal yang berkaitan dengan Gulen, boleh dikata adalah sebuah bentuk keegoisan. Dan perlawanannya terhadap Gulen didasarkan pada kepentingan pribadinya untuk mengamankan dan melanggengkan posisinya sebagai presiden.
Sedangkan apa yang mendasari Trump dan pemerintah AS dalam menyerang balik kebijakan Turki bisa jadi adalah sebuah bentuk solidaritas. Tidak saja karena Trump berkewajiban melindungi warga negaranya, tapi juga bentuk solidaritas sebagai sesama warga negara Amerika Serikat.



Bibliografi:

Firman, Tony. (2018). Kemenangan Erdogan dan Kebangkitan Partai Kiri di Turki. Tirto.id. 02 Juli 2018. Diambil dari tirto.id/kemenangan-erdogan-dan-kebangkitan-partai-kiri-di-turki-cNct.
Sudiaman, Maman.(2016). Erdogan, Kudeta, Sekularisme, dan Tuduhan pada Gulen. Republika. 18 Juli 2016. Diambil dari www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/07/17/oagay6319-erdogan-kudeta-sekulerisme-dan-tuduhan-pada-gulen
Sulistiani, Rima. (2016). Turki perintahkan tangkap Fethullah Gulen. Tirto.id. 5 Agustus 2016. Diambil dari tirto.id/turki-perintahkan-tangkap-fethullah-gulen-bxAe
“US relation with Turkey”. US Department of State. Diambil dari www.state.gov/u-s-relations-with-turkey/
Wohlfort, William C.. (2010). Realism. In Reus-Smit, Christian and duncan Snidal (Eds), The Oxford handbook of international relations (pp. 132) . Oxford, UK: Oxford University Press.

You Might Also Like

0 komentar