Perspektif Realisme dalam Memandang Konflik Amerika Serikat dan Turki
Presiden AS, Donald Trump dan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan (sumber:www.voaindonesia.com) |
Sebagai dua negara yang sama-sama menjadi bagian
dari NATO (North Atlantic Treaty
Organization), hubungan Amerika Serikat dan Turki sudah mempunyai sejarah
yang cukup panjang meski sebenarnya hubungan diplomatik keduanya sudah jauh
terjadi sebelum terbentuknya NATO yakni sejak 1831 ketika AS membangun hubungan
diplomatik dengan kekaisaran Ottoman atau Kesultanan Utsmaniyah. Kemudian,
setelah Perang Dunia pertama dan berdirinya republik Turki, AS resmi menjalin
hubungan diplomatik dengan Turki pada tahun 1927 (US Relation with Turkey, par.
1)
Namun, baru-baru ini hubungan keduanya kian
memanas. Hal ini berawal karena Turki menangkap seorang pendeta berkebangsaan
AS dalam operasi penumpasan besar-besaran disusul setelah adanya dugaan usaha
kudeta terhadap presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan pada musim panas
2016. Brunson dituduh sebagai anggota
mata-mata dan punya andil membantu jaringan terorisme di Turki karena mempunyai
keterkaitan dengan musuh utama Erdogan, Fethullah Gulen seorang ilmuwan Turki
yang juga pemimpin FETO, organisasi yang dicurigai sebagai kelompok terorisme
oleh pemerintahan Erdogan. Penangkapannya memicu kemarahan Gedung Putih di
Washington DC, Amerika Serikat. Tuduhan tersebut dianggap terlalu lemah,
sehingga pemerintah AS meminta pemerintah Turki untuk membebaskan Brunson.
Dalam negosiasi tersebut, akhirnya Turki mau membebaskan Brunson dengan syarat,
AS mau mengekstradisi Fethullah Gulen. Meski permintaan Turki dikabulkan, namun
Turki mengingkari janjinya untuk membebaskan Brunson. Brunson hanya dibebaskan
dari penjara namun menjadi tahanan rumah di Turki dan tetap dipantau oleh pemerintah.
Akibat hal tersebut, pada Agustus 2018 Donald Trump sampai menjatuhkan sanksi
ekonomi terhadap dua menteri utama Turki, Menteri Hukum dan Kehakiman serta
Menteri Dalam Negeri, dengan membekukan aset dan properti mereka serta mencegah
mereka melakukan transaksi dengan unit usaha AS. Meski pada akhirnya Brunson
dibebaskan pada Oktober 2018, konflik tersebut belum juga reda.
Konflik yang pada awalnya terlihat sepele ini
menimbulkan konflik-konflik yang lebih besar yang melibatkan Turki dan Amerika
dan bahkan berdampak pada keadaan perekonomian Turki. Sanksi lanjutan AS akibat
konflik tersebut yang menaikkan tarif impor baja dan aluminium dari Turki telah
melemahkan mata uang Turki, Lira pada titik terendah dalam satu dasawarsa
terakhir. Dikutip dari CNN.com, sanksi tersebut direspon sengit oleh Pemerintah
Turki dengan mengintensifkan serangan dagang yakni menaikkan tarif tinggi
terhadap barang-barang asal AS seperti mobil, alkohol dan rokok.
Dalam Ilmu Hubungan Internasional, terdapat
beberapa teori yang bisa digunakan untuk mengkaji konflik antara AS dan Turki
ini. Salah satu teori yang sangat populer adalah realisme. Realisme adalah
teori paling klasik yang sudah muncul sejak zaman Yunani kuno. Sebagaimana
dikutip dari The Oxford Handbook of
International Relations (2010), teori ini berpusat pada empat gagasan
utama: groupism, egoism, anarchy, dan power politics. Yang dimaksud dengan
groupism di sini adalah bahwa dalam realisme solidaritas grup mempunyai peran
yang amat penting dalam politik domestik, konflik, kerjasama antar pemerintah
dalam esensi hubungan internasional. Egoism
mengacu pada ungkapan bahwa egoisme merupakan sifat dasar alamiah manusia.
Ketika seorang individu atau kelompok mengambil sikap politik umumnya didasari
pada kepentingan pribadi. Sedangkan anarchy
adalah gagasan bahwa pada dasarnya sistem politik internasional tidak
memiliki pemerintah berdaulat yang mengatur sistem tersebut.. Bertumpunya egoism dan groupism tersebut dalam
sebuah kondisi yang anarki memicu hubungan internasional berdasarkan pada
politik kekuasaan dan keamanan. Perlu diketahui juga bahwa groupism dan egoism dapat
digunakan baik dalam politik domestik maupun internasional.
Untuk
memahami konflik antara AS dan Turki, ada tiga level analisis yang dapat
dipakai; negara, individu, dan sistem. Dalam hal ini maka akan digunakan salah
satu saja dari ketiga level analisis tersebut yakni, level individu dengan
berfokus pada pribadi presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Erdogan adalah
presiden Turki yang menjabat sejak 2014. Sebelumnya ia juga menjabat sebagai
Perdana Menteri Turki sejak 2003. Hal ini terjadi karena sebelumnya, kepala
pemerintahan Turki (perdana menteri), dipilih oleh parlemen. Pada tahun 2014,
untuk pertama kalinya setelah 91 tahun, Turki menyelenggarakan pemilihan
presiden secara langsung oleh rakyat. Pada pemilu kedua di tahun 2018, Erdogan
kembali terpilih menjadi presiden Turki dengan unggul sebanyak 55 persen dari
lawannya, Muharrem Ince (Tirto.id). Di bawah kepemimpinannya, Turki yang
awalnya dipandang sebelah mata berhasil menjadi negara dengan ekonomi terkuat
ketujuh di Eropa. Maka tidak heran jika dalam total 14 pemilihan termasuk dua
pemilihan presiden, dia selalu menang. Sehingga total masa kepemimpinannya
berjumlah kurang lebih 16 tahun. Namun dalam konsep penyelenggaraan negara di
Turki, presiden hanyalah simbol kepala negara, penentu segala kebijakan adalah
perdana menteri. Erdogan yang sebelumnya sudah menjabat sebagai perdana menteri
selama 11 tahun ingin mengubah hal tersebut guna mempermudah tujuannya. Hal
inilah yang membuat oposisi Erdogan menuduh ia ambisius dan mulai bertindak
diktator.
Berkaitan
dengan konflik bilateral AS dan Turki, jika dirunut secara hati-hati hingga ke
akar permasalahan, konflik ini sebenarnya berangkat dari hubungan buruk Erdogan
dengan koleganya, Fethullah Gulen. Padahal keduanya, awalnya merupakan karib
yang sama-sama punya andil dalam membangun jaringan politik Islam di Turki.
Jika kita mempelajari sepintas tentang sepak terjang Gulen, ia adalah seorang
ulama yang cukup disegani di Turki. Gulen mempunyai peran dalam mengembangkan
organisasi non-profit yang manfaatnya banyak dirasakan oleh masyarakat luas.
Dalam hal politik, Gulen juga punya peran penting terhadap keberhasilan Erdogan
menjadi perdana menteri pada tahun 2003. Sebelumnya, Gulen terkenal aktif dalam
melawan ideologi sekuler yang berkembang di Turki, hal itu pula yang
menyebabkan kepindahannya ke Pennsylvania, AS pada tahun 1999. Pengaruhnya yang
cukup kuat membuatnya mempunyai cukup banyak pengikut setia baik di dalam
maupun di luar pemerintahan.
Pada
dasarnya Erdogan dan Gulen berangkat dari ideologi yang hampir sama yang pada
intinya adalah melawan ideologi sekuler. Hal itu pula yang membuat mereka
menjadi sekutu politik yang cukup dekat. Namun entah karena apa, belum jelas
hingga saat ini mereka berseteru. Yang jelas Gulen dianggap menjadi dalang
dibalik berbagi aksi kudeta terhadap pemerintahan Erdogan. Menurut sumber
tirto.id, surat penangkap Gulen diterbitkan pada Agustus 2016. Salah satu isinya
menyebutkan bahwa Gulen memerintahkan kudeta 15 Juli. Pada 15 Juli sendiri
memang terjadi kudeta oleh militer Turki yang menyebabkan 238 orang tewas dan
2.200 lainnya terluka. Ribuan orang di posisi kehakiman, militer dan kepolisian
dimutasi dari jabatan mereka dan setidaknya 18.000 orang ditahan karena diduga
terlibat kudeta .
Banyak
dugaan bahwa Erdogan menjadikan Gulen sebagai kambing hitam dari aksi kudeta
Turki lebih karena dendam pribadi. Hal ini berdasarkan pernyataan Gulen sendiri.
Peristiwa
yang terjadi di Turki, yang pada akhirnya menyeret negara tersebut ke dalam
pusaran konflik dengan Amerika Serikat, sedikit banyak membuktikan teori
realisme dalam melihat human nature atau
sifat dasar manusia yang selalu ingin berkuasa dan menjadi lebih dominan
dibanding yang lain. Bahwa sikap-sikap yang diambil sebuah negara merupakan
cerminan dari siapa yang memimpinnya. Keputusan Erdogan untuk menahan Brunson
sebagai buntut perlawanannya terhadap segala hal yang berkaitan dengan Gulen,
boleh dikata adalah sebuah bentuk keegoisan. Dan perlawanannya terhadap Gulen
didasarkan pada kepentingan pribadinya untuk mengamankan dan melanggengkan
posisinya sebagai presiden.
Sedangkan
apa yang mendasari Trump dan pemerintah AS dalam menyerang balik kebijakan
Turki bisa jadi adalah sebuah bentuk solidaritas. Tidak saja karena Trump
berkewajiban melindungi warga negaranya, tapi juga bentuk solidaritas sebagai
sesama warga negara Amerika Serikat.
Bibliografi:
Firman, Tony. (2018). Kemenangan Erdogan dan Kebangkitan Partai
Kiri di Turki. Tirto.id. 02 Juli
2018. Diambil dari tirto.id/kemenangan-erdogan-dan-kebangkitan-partai-kiri-di-turki-cNct.
Sudiaman, Maman.(2016). Erdogan, Kudeta, Sekularisme, dan Tuduhan pada Gulen. Republika. 18 Juli 2016. Diambil dari www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/07/17/oagay6319-erdogan-kudeta-sekulerisme-dan-tuduhan-pada-gulen
Sulistiani, Rima. (2016). Turki perintahkan
tangkap Fethullah Gulen. Tirto.id. 5 Agustus 2016. Diambil dari tirto.id/turki-perintahkan-tangkap-fethullah-gulen-bxAe
“US relation with Turkey”. US Department of
State. Diambil dari www.state.gov/u-s-relations-with-turkey/
Wohlfort, William C.. (2010). Realism. In
Reus-Smit, Christian and duncan Snidal (Eds), The Oxford handbook of international relations (pp. 132) . Oxford,
UK: Oxford University Press.