LIEBE.

    • Home
    • Hobby
    • Opinion
    • Journal
    • Junk



    Perempuan itu duduk di kursi memandang keik sederhana dengan label gluten-free yang ia beli untuk dirinya sendiri. Hanya sebuah lilin yang bertengger di atas kue itu, alih-alih angka dua dan lima. Ia memandang kosong ke langit. 

    "Aku ternyata sudah setua ini"

    Betul. Nggak perlu risau.bener-bener nggak seburuk itu. Ternyata rasanya biasa saja seperti kamu memasuki usia 17 tahun. Bedanya ini sama sekali nggak sweet. Bittersweet bolehlah. Kalo kamu punya circle pertemanan yang luas, ya selamat, ucapan mengalir lewat snapchat membludak. Kalo circlemu cuma seluas daun kelor ya, nikmati hari ulangtahunmu dengan meratapi inboxmu yang kosong. Tapi sumpah ya ucapan ulangtahun benar-benar udah nggak sepenting itu.

    "Aku sudah melakukan apa saja selama ini?"

    "Kenapa aku tidak seperti mereka? Kenapa hidupku seperti ini terus?"

    You did a lot! Kita sudah melakukan banyak hal. Kamu sudah bertahan sampai usia sejauh ini. Kamu membuat orang sekelilingmu bahagia dan bersyukur dengan keberadaan kamu. Kamu juga tidak mengganggu dan merugikan orang lain.

    "Aku harus ngapain ya?"

    "Aku tidak bersemangat"

    Kamu harus bangun dan berhenti scroll media sosialmu supaya kamu nggak bingung dan merasa nestapa dengan pencapaian orang lain.

    "Aku ingin pergi saja"

     Kamu mau ke mana sih? Emang kamu tau apa yang kamu hadapi kalo kamu pergi?

    "Aku kenapa sih?"

    Kamu lagi quarter life crisis. Sesuatu yang normal banget kamu rasain di usia kamu. Tuntutan di luar sana pasti bener-bener terasa berat di pundak ya.

    ***

        Mayoritas orang dewasa terutama perempuan benci sekali membahas umur. Karena membahas umur berarti mengingat segala beban sosial yang mengiringi pertambahan angkanya. Kita tidak perlu menafikkan bahwa pada masyarakat tertentu, asumsi yang berkembang adalah peralihan umur juga menandai satu dari sekian transisi-transisi hidup; dari remaja menjadi dewasa, dari menganggur menjadi bekerja, dari dibiayai orangtua menjadi mulai dilepas seutuhnya, dari sendirian menjadi berpasangan, dari kelas bawah menjadi kelas menengah, dst. Beban-beban soal transisi hidup inilah yang memicu munculnya quarter life crisis atau krisis seperempat baya. Saya nggak akan menjelaskan ini sih, tapi krisis ini betul-betul dirasakan oleh mayoritas orang dewasa. Termasuk saya. Banyak orang dewasa mengalami serangan panik, perasaan depresi, dan tertekan karena mereka benar-benar bingung dengan saking banyaknya pilihan atau kadang merasa malah tidak ada pilihan sama sekali.

        Saya sih nggak bakal ngasih solusi apa-apa di sini. Justru saya malah mau berkeluh kesah cerita pengalaman sih. Pertama kalinya saya merasakan kekhawatiran berlebih adalah ketika saya mengerjakan skripsi. Sebenernya sejak awal diterima di UGM, saya dengan penuh kesadaran mengakui bahwa saya bisa masuk di kampus bergengsi tersebut adalah karena faktor keberuntungan dari Allah. Karena hal itu juga muncul kekhawatiran dalam diri saya, bahwa saya bisa masuk tapi nggak bisa keluar dari sana. Bayangkan pujian-pujian dan rasa bangga orang-orang keetika ketrima di UGM bakal berubah jadi cemoohan kalo sampai saya nggak lulus dari sana. Tapi kekhawatiran itu dikaburkan oleh pengalaman-pengalaman serba perdana yang saya dapatkan. Ketika saya sampai pada tahap skripsi, kekhawatiran saya muncul lagi dan makin menjadi-jadi. Apalagi saya mendapatkan pembimbing yang terkenal killer dan perfeksionis. Saya bahkan sudah ditakut-takuti duluan oleh teman saya, "kating-kating lo pada belum lulus bimbingan sama bu A." Dan saya betul-betul merasa takut karena segan kepada pembimbing saya. Setiap kali saya mau chat, saya baca berungkali sebelum saya kirimkan. Setiap saya mau masuk ke ruangan beliau, maju mundur dulu saya menyiapkan mental. Setiap mendapat pesan suara ketika bimbingan online berdebar jantung saya saking takutnya. Tapi saya akhirnya toh selesai juga. Nggak bagus-bagus amat tapi setidaknya saya lulus. Alhamdulillah.

        Tapi ketenangan itu hanya bertahan sebentar, setelah saya resmi dinyatakan lulus, saya didhawuhi untuk khidmah dalam kepengurusan pondok. Sesuatu yang tidak hanya sulit, tapi rasanya mustahil saya bisa lalui mengingat pengalaman saya di kepengurusan yang nol besar. Tapi ketika saya mengutarakan itu kepada ibunda nyai, jawaban beliau,"ra perlu minder wong nduwe quran kok (tidak perlu rendah diri, punya Al-Quran kok)." Saya akhirnya menyadari pesan itu di akhir periode kepengurusan. Tapi periode kepengurusan itu adalah masa-masa di mana mental saya benar-benar dilatih. Saya yang jarang sekali bersuara di depan umum dan berbicara dengan lawan jenis terutama ketika di pondok, harus memaksa diri memimpin rapat, berani mengeluarkan ide dan menyanggah, mengalami konflik dengan berbagai pihak, serta banyak berinteraksi dengan lawan jenis. Beberapa hal yang menjadi momok saya bertahun-tahun. Yang mengenal saya lama tentu sadar dengan perubahan-perubahan saya. Tahun pertama kepengurusan, buat saya adalah tahun menempuh keikhlasan. Minggu-minggu pertama setelah saya dilantik isinya perasaan sesak yang menyempitkan dada, susah tidur setiap malam karena rasa lelah dalam pikiran, dan curhatan tiada henti pada ibu saya tentang betapa susahnya untuk ikhlas dan ikhlas. Tapi saya akhirnya pun sampai di akhir periode juga, tidak methal (keluar) di tengah jalan. Dan hikmah-hikmahnya banyak yang saya rasakan justru setelah saya boyong dari sana. 

        Lalu saya memasuki umur 25. Ketika saya memasuki usia 25 tahun beberapa bulan lalu, saya merasa biasa saja. Tidak susah, tidak sedih juga. Tidak ada hal istimewa. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi kemudian, di umur inilah, saya pertama kali merasakan patah hati dalam hidup saya. Hanya beberapa hari setelah hari ulangtahun saya. Ternyata lumayan juga rasanya. Saya tidak menangis. Hanya saja saya tidak bisa tidur dan tidak nafsu makan berhari-hari. Saya juga menonaktifkan hape saya. Sampai akhirnya saya memilih untuk pulang sehari semalam ke rumah bulek saya, tanpa sepengetahuan orangtua dan bu nyai saya. Saya merenungi bahwa ternyata saya akhirnya akan sampai pada fase ini juga. Fase patah hati dan lucunya di saat yang hampir bersamaan mendapat label picky dari orang yang bahkan tidak pernah ada urusan dengan saya. Lucunya hal kayak gini aja bikin saya overthinking. Ada-ada saja ya wkwkwk.

        Krisis-krisis seperti ini akan terus saya dan anda rasakan secara silih berganti. Akan selalu ada masalah dalam hidup, tapi akan selalu ada Tuhan untuk kasih solusi. Saat tulisan ini ditulis, sedang ada banyak hal berkecamuk dalam pikiran saya. Tapi saya rasa saya sudah lebih dewasa. Saya belum merasa sempurna, dan tidak akan pernah. Tapi saya rasa diri saya sudah jauh lebih siap dari sebelumnya.


    Continue Reading





    ('sedikit' catatan dari Kuliah Umum Online di Pesantren Bayt Al-Qur'an 
    oleh Dr. Phil. Mu'ammar Zayn Qadafi)

            
            Akhir-akhir ini kajian atas literatur tafsir klasik lebih banyak mengarah pada kajian keagamaan alih-alih sebagai kajian sejarah intelektual. Kajiannya masih terbatas pada sekedar mengungkap penafsiran atas makna-makna ayat-ayat dalam Al-Quran dari literatur tersebut. Hal ini menurut Dr. Muammar Zayn Qadafi disebabkan oleh teknologi digital yang mengubah reading experience (pengalaman pembacaan) atad tafsir itu sendiri, studi tafsir hanya dilihat dari asas manfaatnya (pragmatis), dan dalam pengkajiannya memang membutuhkan wawasan dan kemampuan kebahasaan yang cukup.

            Beliau menyebutkan bahwa kitab Al-Tafsir wa Al-Mufassirun karya Imam Al-Dzahabi yang menjadi dasar pengkajian tafsir klasik selama ini sudah tidak lagi relevan karena cenderung tidak netral dan menyeluruh dalam pengkajiannya. Misalnya saja terkait tafsir Al-Kasyaf, Al-Dhahabi lebih menonjolkan karakter kemutazilahan pengarangnya alih-alih fokus pada posisi sentralnya sebagai literatur tafsir. Imam Al-Dhahabi juga mengkritik secara keras argumen Imam Zamakhsyari yang terkesan menyerang para auliya' meskipun beliau tidak memungkiri keunggulan beliau dalam membedah sisi balaghah Al-Quran sehingga banyak ulama sunni yang beristifadah padanya. Hal ini menimbulkan kesan bahwa tafsir sunilah yang terbaik sehingga tafsir At-Thabari lah yang kemudian dimenangkan dalam kontestasi ini. Padahal tafsir Al-Kasyaf mendapat respon dari banyak ulama yang dibuktikan dengan jumlah syarah dan hasyiyah yang melingkupinya yang berjumlah sekitar 834 buah (paling banyak di antara tafsir yang lain). Dengan demikian, perlu dicarikan referensi kitab historiografi lain misalnya, al-fihris al syaamil li al turats al 'arabi al-islamiy al-makhtuth. Kitab ini tidak hanya memuat data dari seorang mufassir dan karya tafsirnya, tapi juga tempat di mana manuskrip turatsnya tersimpan, dan hasyiyah-hasyiyah seputar tafsir tersebut.

                Selanjutnya beliau mempromosikan teknik pembacaan secara genealogis dari Walid Saleh (Profesor Studi Islam Universitas Toronto) dalam pembacaan karya tafsir sebagai solusi untuk menghidupkan lagi kajian tafsir klasik. Teori ini tidak sekedar deep reading atas suatu karya tafsir tapi juga mendorong dialektika antara satu karya tafsir dengan karya tafsir yang lain yang datang terlebih dahulu. Pembacaan secara genealogis berarti memandang karya tafsir sebagai sesuatu yang turun-temurun dan melihat bagaimana karya tafsir dibaca secara kritis dan dikomentari oleh generasi-generasi setelahnya karena suatu produk tafsir tidak bisa berdiri sendiri tanpa melihat atau mengambil dari produk tafsir sebelumnya. Dengan demikian, kita dapat melihat sejarah perkembangan karya tafsir dan sejauh mana kaya tafsir mampu bertahan dan berkembang. Oleh karena itu beliau mengajak kita untuk mengubah pisau analisis kita dalam mengkaji tafsir klasik dan secara terbuka mau mengeksploarasi tafsir-tafsir yang tidak dianggap sentral.

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Widdat Ulya Medioker

    Manusia biasa dengan kemampuan rata-rata

    Follow Us

    • twitter
    • pinterest
    • instagram

    Labels

    Hobby Journal Junk Opinion

    recent posts

    Blog Archive

    • Februari 2025 (1)
    • Januari 2024 (1)
    • Oktober 2023 (2)
    • Juni 2023 (2)
    • Mei 2023 (1)
    • Agustus 2022 (1)
    • Januari 2020 (1)
    • September 2019 (1)
    • Juni 2018 (1)

    Popular Posts

    • 'Educated' : Perjuangan Tara Westover Membebaskan Diri dari Keluarga Fanatik-Konservatif
    • Tentang Ibu

    Most Popular

    • 'Educated' : Perjuangan Tara Westover Membebaskan Diri dari Keluarga Fanatik-Konservatif
    • Tentang Ibu



    Twitter instagram pinterest

    Created with by BeautyTemplates

    Back to top