21 Lessons for the 21st Century atau yang secara harfiah berarti 21 pelajaran untuk menghadapi abad ke 21 merupakan karya ketiga Yuval Noah Harari setelah dua karya monumentalnya, Sapiens dan Homo Deus. Yuval Noah Harari sendiri adalah profesor sejarah dunia dari Israel, sekaligus alumni program doktor Universitas Oxford.
So, What is it about?
Seperti judulnya, buku ini memuat hal-hal yang menurut Harari penting untuk diperhatikan terutama untuk gen Z demi menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk di abad 21. Meskipun buku ini dan buku sebelumnya saling berkaitan erat, kita nggak perlu-perlu banget untuk baca buku-buku sebelumnya demi bisa menikmati isinya.
How about the content?
Wait, cerita dikit, haha. Jadi ini buku adalah buku Harari kedua yang saya baca setelah Homo Deus. Dan FYI, saya gagal untuk menamatkan Homo Deus karena somehow it is bored and I can’t get hook up on the topic. Rasanya, it is not my cup of tea. Kemudian suatu hari, entah kerasukan apa, saya yang super bingung pas masuk periplus mau beli buku apa, tiba-tiba memilih lagi-lagi karya Harari karena saya lagi nggak mau buang-buang uang untuk sesuatu yang cepat habis–buku fiksi kan cepet banget ya abisnya karena adiktif haha. Singkat cerita, pada akhirnya saya baca ini. Beda dari buku-buku non-fiksi saya yang sebelumnya saya baca, saya bener-bener prepare banget untuk baca buku ini–prepare otak dan pensil haha karena selain topiknya yang berat, ini kan Inggris ya buk, nggak setiap kata saya tau artinya kaaan. Saya juga baca buku ini bener-bener rinci mulai dari testimoni experts, profil pengarang, dedikasi, acknowledgements sampai ke intronya sebelum saya masuk ke contentnya. Pada momen membaca perintilan-perintilan inilah saya menyadari bahwa this one is totally different dari buku yang sebelumnya gagal saya selesaikan. Why? tentu saja segi bahasanya! Buku sebelumnya, Homo Deus, saya baca dalam versi Bahasa Indonesia, sementara 21 Lessons saya baca dalam versi Bahasa Inggris alias bahasa original bukunya. It’s widely known ya, bahwa versi terjemahan dan versi asli pasti feelnya beda apalagi kalo penerjemahnya emang kurang bisa menyampaikan feel dan nuance dari buku aslinya. Pas baca Homo Deus, saya bloon parah dan ngerasa pening banget semakin kesana untuk memahami bukunya. Tapi yang satu ini, rasa curious saya malah semakin menjadi-jadi di setiap halamannya. Saya jadi sadar, Harari ini dalam bayangan saya oke banget kalo lagi ngasih kuliah. Bahasa penyampaian di bukunya kece parah karena kita bener-bener diajak dialog secara nggak langsung dengan gaya penyampaian ala-ala Ted Talk gitu. Contoh-contoh yang dia sajikan bener-bener real dan relate sama apa yang penduduk dunia alami saat ini. Dia sering banget menyajikan pengalaman-pengalaman pribadi dia sebagai seorang laki-laki, gay, ateis, Israel, dan sejarawan. Ini yang bikin buku ini jadi terasa valid dan mengakomodir banyak suara-suara minoritas di luar sana. However, kadang saya jengah sendiri kalo dia sudah mulai menunjukkan ketidak percayaannya soal narasi-narasi liberal dsb. Jadi buku ini fun and sickening at the same time.
Terdiri dari 5 bab dan 21 sub bab, ada sangat banyak topik yang dia bahas mulai dari Tuhan sampai AI atau kecerdasan buatan. Secara ringkas, menurut Harari, di abad 21 dunia akan menghadapi setidaknya 3 bencana besar yakni dominasi AI, perang nuklir dan bencana ekologi karena perubahan iklim. Oleh karena itu, dunia yang anarki ini perlu bersatu untuk menghadapinya. Lebih lanjut lagi menurut Harari, kita harus berhenti percaya atau setidaknya berhenti terlalu fokus pada narasi-narasi yang menurutnya fiksi seperti Tuhan, dogma agama, nasionalisme, ritual-ritual dst karena hal itu membangun sekat antar manusia dan menimbulkan banyak perselisihan. Sebagai sintesisnya, Harari menawarkan sekularisme beserta keunggulan-keunggulannya,
“Secular Science has at least one big advantage over most traditional religions, namely that it is not terrified of its shadow , and it is in principle willing to admit its mistake and blindspot.”
Harari menekankan bahwa baginya, sekularisme adalah narasi paling masuk akal untuk menghadapi dunia abad 21 karena ia tidak bias pada dogma tertentu. Sekularisme bersifat netral karena prinsip utamanya adalah compassion over obedience, belas kasihan di atas kepatuhan. Sekularisme tidak hanya milik orang atheis, tapi bagi siapapun yang percaya bahwa kebaikan adalah selama tidak merugikan orang lain. “Secular people abstain from murder not because some ancient book forbids it, but because killing inflicts immense suffering on sentient beings.” (Harari, p. 239) Menjadi sekuler, seseorang tidak harus menjadi ateis, menghilangkan ritual-ritual keseharian atau melepas atribut keagamaan. Dalam kalimat pamungkas di bab secularism, dia juga menantang para agamais untuk melakukan otokritik terhadap flaws dalam kepercayaan mereka.
Harari juga membantah adanya free will dalam diri setiap manusia karena tidak pernah ada manusia yang benar-benar punya kehendak bebas. Kehendak dalam diri manusia selalu disetir oleh proses biokimia yang terus terjadi sepanjang hidup kita. Termasuk soal sexual attraction yang dialami Harari. Makanya saya katakan bahwa buku ini isinya argumen self-defensenya Harari. Pokoknya Harari vs the wordlah.
Sebenernya niih, hampir semua kepercayaan dan ideologi diserang habis sama si Harari ini. Bahkan dia mengkritik Israel juga. Jadi santai aja baca ini guisss. Nggak usah kedistract sama argumen-argumennya. Just stand up for yourself ajaa. Kalo kalian termasuk orang religius, nggak usah heran sama argumen-argumennya yang bersifat materialis banget, karena dia emang seenggak percaya itu sama dunia metafisika.
How do I rate this book?
5/5. Buku ini nagih banget dari segi isi dan bahasa penyampaiannya. No need to be in his side untuk jatuh cinta sama buku ini. Rasanya kayak baca buku teori konspirasi tapi in a scientific way. Seru dan adiktif di setiap halamannya. Meski banyak hal-hal yang mungkin kontradiktif dengan nilai-nilai yang kita percaya, tapi masih lebih banyak nilai-nilai positif yang bisa kita ambil hikmahnya.