LIEBE.

    • Home
    • Hobby
    • Opinion
    • Journal
    • Junk



    "You could call this selfhood many things. Transformation. Metamorphosis. Falsity. Betrayal. I call it education. " 

    (Westover 329)


       Seperti biasa cerita sedikit ya biar tulisannya panjang wkwk, kenapa kok memilih buku ini. Jadi saya yang sedang berusaha mengembalikan kebiasaan baca buku saya karena mengalami reading slump, malas baca buku bahkan buku cerita. Entah kenapa malas sekali. Jadi saya mulai mencari-cari lagi buku yang membuat hati saya tergugah untuk membaca, mulai dari saya baca ulang novel-novel kesukaan saya, baca buku puisi, dan seterusnya. Lalu suatu ketika saya punya uang lebih, jadi saya putuskan untuk membeli buku. Kenapa menunggu ada uang lebih? Saya sudah bertekad untuk memperbanyak literatur Inggris dalam koleksi pribadi, supaya menjadi pengingat bahwa diri ini pernah kuliah di jurusan Sastra Inggris :) Dan sejauh ini buku original Inggris harganya jauh lebih mahal dari buku terjemahan, rata-rata hampir dua kali lipatnya. Awalnya saya mencari memoar perjalanan (travelling), tapi ternyata belum ada yang menarik hati saya.

        Pilihan saya kemudian jatuh pada Educated. Sebuah memoar juga. Banyak sekali yang merekomendasikan memoar ini. Ratingnya cukup bagus di goodreads. Beberapa bahkan melabelinya sebagai the best memoir ever written. Lalu saya belilah lewat e-commerce oren di toko periplus. Cukup cepat karena ternyata readystock. Asal temen-temen tahu, buku impor original kalo masih pre-order bisa nunggu sampe sebulan karena harus ambil langsung dari penerbit di negara asalnya (pengalaman wkwk)

    Oke, bukunya tentang apasih?

        Educated ini isinya cerita tentang kehidupan Tara Westover, anak bungsu dari tujuh bersaudara, yang lahir dari keluarga fanatik Mormon yang tinggal di negara bagian Idaho, Amerika Serikat. Ayahnya, Gene, pengepul rongsokan, sedangkan ibunya, Faye, bidan tanpa lisensi dan peramu obat-obatan herbal. 

        Bentar, emang Mormon apasi? Sekilas tentang aliran Mormon yaa. Mormon adalah aliran denominasi atau sempalan dari Aliran Protestan yang berkembang cukup pesat di AS. Mormon sendiri dipercaya merupakan Nabi kuno yang diutus di Amerika pada umatnya, Nefi. Makanya alirannya disebut Mormonisme. Aslinya mereka menamakan diri mereka sebagai latter-day saint (orang suci zaman akhir). CMIIW

         Oke skip. Jadi bapaknya mbak Tara ni kan semacam pendeta di Gereja Mormon. Beliau ini fanatik banget sama agamanya, suka baca dan nafsirin alkitab, dan percaya sama day of abomination, semacam hari kiamat di akhir milenium. 

           On January 1, he said, computer systems all over the world would fail. There would be no electricity, no telephones. All world sink into chaos, and this would usher in the Second Coming of Christ.
      ....the goverment had programmed the computers with a six-digit calendar, which meant the year had only two digits. "When nine-nine becomes oh-oh, he said, "the computers won't know what year it is. They'll shut down" (Westover 84)

         (Pada tanggal 1 Januari (tahun 2000), katanya, sistem komputer di seluruh dunia akan rusak. Tidak akan ada listrik dan sambungan telfon. Dunia dalam kekacauan, dan kemudian Kristus akan datang lagi keduakalinya.

     ...Pemerintah sudah memprogram seluruh komputer dengan sebuah kalender enam digit, itu artinya tahun hanya punya dua digit. "Ketika 99 jadi 00, kata Ayah Tara, komputer-komputer itu tidak akan tahu tahun berapa saat itu, mereka akan mati red. rusak)

         Bapaknya mbak Tara benci banget sama pemerintah dan outsider. Dia menganggap kalo suatu saat mereka bakal diserang sama pemerintah. Makanya dia  mendoktrin keluarga sama orang sekitarnya soal ini, menimbun banyak senjata dan makanan buat antisipasi jika suatu saat hari itu tiba. Ketidakpercayaan dan ketakutan dalam pikirannya ini sedikit banyak mempengaruhi kebijakan dalam rumah tangganya. Misal, anak-anaknya nggak didaftarin ke pencatatan sipil, nggak boleh pergi ke sekolah, dan si bapak antipati banget sama dokter. Pokoknya dalam benaknya si bapak, dokter tu jahat banget sekutuan ama setan. Bahkan sesimpel mandi dan cuci tangan pake sabun aja anak-anaknya nggak diajarin. Sebaliknya dia selalu percaya bahwa Tuhan akan membantu dan mendampingi umatnya dalam setiap kesulitan dan penyakit yang menimpa mereka. Jadi misal ada yang sakit bahkan sampe parah banget nih, cuma disembuhin pake herbal sama doa doang nggak dibawa ke dokter. Gemes nggasih :( Kengenesan itu masih ditambah dengan adanya salah satu kakak laki-laki Tara yang abusive tetapi terkesan dilindungi sama ayahnya.

         Nah, buku ini menceritakan perjalanan mbak Tara buat bebas dari keluarga terutama ayahnya yang konservatif sampai akhirnya dia bisa kuliah di dua kampus terbaik dunia, mengambil program magister di Harvard, dan dapet gelar PhD dari Cambridge. Wawww

    Gimana gaya penulisannya?

         Gaya bahasanya cenderung mirip novel dengan deskripsi visual yang cukup detail. Kelemahan saya banget nih kalo buku bahasa Inggris pake deskripsi visual yang ndakik-ndakik~ mau membayangkan harus tau terjemahan frasa-frasanya yang kadang-kadang cukup sulit ehehehe. Makanya jujur buku ini rampung saya baca dalam waktu yang cukup lama.

         Oya gaya ceritanya mbak Tara lebih kayak seseorang yang lagi recall masa kecilnya. Ada nada-nada meraba, "kok gini ya?" dalam narasi-narasi awalnya. Dan kita akan dengan mudah menangkap kepolosan Tara yang emang background awalnya enggak tersentuh bangku sekolah. Jadi, cara Tara bercerita bukan tipe anak sok edgy yang ngejelekin orangtuanya. Padahal Tara ini kasihan banget lo sampe dianggep delusional dan kerasukan sama makbapaknya.

         Saya setuju banget sama ulasan Bill Gates soal gaya cerita mbak Tara ini,

     "Her experience is an extreme version of something everyone goes through with their parents. At some point in your childhood, you go from thinking they know everything to seeing them as adults with limitations." (Gates)
     (Pengalamannya (Tara) adalah sebuah versi ekstrim dari pengalaman yang biasa dilalui tiap orang bersama orangtua mereka. Dalam beberapa hal terkait kehidupan masa kecil, kamu beralih dari memandang bahwa mereka (orangtua) tahu semuanya kepada pandangan bahwa mereka adalah juga orang dewasa dengan segala keterbatasannya. (Gates))

    Jadi...

         Seperti judulnya, Educated, pesan tersirat di buku ini cukup jelas, pentingnya jadi orang yang educated (terdidik) dan bagaimana education (pendidikan) bisa membentuk pola pikir dan kepribadian seseorang. Buku ini menambahkan bukti buat kita bahwa orang kolot nan rese yang pake dalil agama buat menjustifikasi kebenaran versi dia itu nyata adanya di mana-mana.

    Rating dari saya pribadi 4/5. Recommended!


    Reference:

    Gates, Bill. Educated is Even Better than You've Heard. Quest for Knowledge, 3 December 2018, www.gatesnotes.com/Educated. Accessed 1 January 2024. 

    Westover, Tara. Educated. Random House, 2018


    Continue Reading


    I told you a story

    About a woman called Terry

    Some perceives her a heroine
    But others consider her a villain
    But I think she is an antithesis
    For ever existed theories

    She is neither disobedient
    Nor defiant
    She is struggling
    For the value she's believing

    She ain't challenging the world
    Instead she's correcting the values which are too old
    Thus, if she is an anthitesis
    What she need now is a synthesis

    Instead of swearing or ridiculing
    She prefers people coming
    To argue her with reason
    Not with obsesion

    Then I was asked,
    "Does finally she find the synthesis?"
    "Nah, she has been buried with her antithesis"
    That was how the story ended

    People rushed into the cemetery
    Looking for the stone of Terry

    No stone bears her name
    But one,
    Neither includes her name nor her fame
    It's just written that,
    "In an evil society, the villain is always the hero"
    Continue Reading

    Paman menyampaikan sebuah cerita
    Tentang seorang manusia yang pernah dikenalnya
    Manusia merdeka beliau menyebutnya
    Manusia yang punya banyak asa

    Otaknya tak cukup pintar
    Meski begitu raut wajahnya sangar
    Bau nafasnya pengar
    Dengan aroma anggur yang menguar

    Dalam benaknya terbentang banyak mimpi tentang utopia
    Di sana ia berteriak ria
    "Aku adalah manusia merdeka"
    Meski sejatinya ia hidup dalam dunia distopia

    Orang terpandang melihat dia dengan memicingkan mata
    Menyampaikan sumpah serapah bahwa seharusnya ia mati saja
    Orang rendahan memandang ia sebagai manusia luar biasa
    Yang bisa membayangkan dunia imaji dalam sekejap mata

    Ucapannya selalu menjulang
    Tentang negeri yang tak pernah terbayang
    Di mana tak ada yang menjadi tuan
    Karena semua setara tak saling melawan

    Pendengarnya adalah kami, kata paman
    Kaum pinggiran yang suaranya tertahan
    Yang keberadaanya tak pernah ada dalam catatan
    Dan ketiadaaanya tak akan menjadi perhatian

    Tapi pada suatu malam yang sunyi
    Saat purnama pun memilih menyepi
    Si manusia merdeka memilih jalannya sendiri,

    "Pada hari ini aku memulai jalanku
    Untuk merilis kebebasanku
    Melepas dari dari belenggu
    Menapaki jalan yang sudah aku tunggu

    Bedebah akan mengatakan aku nekat
    Tapi aku lebih suka menyebutnya 'melukat'
    Membebaskan diri dari nafsu syahwat
    Mencapai puncak dari akal sehat

    Kalian yang terpenjara dalam ikatan
    Yang membisu karena tekanan
    Sudah saatnya kalian menempuh jalan pembebasan
    Dan meludahi segala bentuk penindasan"
    Continue Reading



    Perempuan itu duduk di kursi memandang keik sederhana dengan label gluten-free yang ia beli untuk dirinya sendiri. Hanya sebuah lilin yang bertengger di atas kue itu, alih-alih angka dua dan lima. Ia memandang kosong ke langit. 

    "Aku ternyata sudah setua ini"

    Betul. Nggak perlu risau.bener-bener nggak seburuk itu. Ternyata rasanya biasa saja seperti kamu memasuki usia 17 tahun. Bedanya ini sama sekali nggak sweet. Bittersweet bolehlah. Kalo kamu punya circle pertemanan yang luas, ya selamat, ucapan mengalir lewat snapchat membludak. Kalo circlemu cuma seluas daun kelor ya, nikmati hari ulangtahunmu dengan meratapi inboxmu yang kosong. Tapi sumpah ya ucapan ulangtahun benar-benar udah nggak sepenting itu.

    "Aku sudah melakukan apa saja selama ini?"

    "Kenapa aku tidak seperti mereka? Kenapa hidupku seperti ini terus?"

    You did a lot! Kita sudah melakukan banyak hal. Kamu sudah bertahan sampai usia sejauh ini. Kamu membuat orang sekelilingmu bahagia dan bersyukur dengan keberadaan kamu. Kamu juga tidak mengganggu dan merugikan orang lain.

    "Aku harus ngapain ya?"

    "Aku tidak bersemangat"

    Kamu harus bangun dan berhenti scroll media sosialmu supaya kamu nggak bingung dan merasa nestapa dengan pencapaian orang lain.

    "Aku ingin pergi saja"

     Kamu mau ke mana sih? Emang kamu tau apa yang kamu hadapi kalo kamu pergi?

    "Aku kenapa sih?"

    Kamu lagi quarter life crisis. Sesuatu yang normal banget kamu rasain di usia kamu. Tuntutan di luar sana pasti bener-bener terasa berat di pundak ya.

    ***

        Mayoritas orang dewasa terutama perempuan benci sekali membahas umur. Karena membahas umur berarti mengingat segala beban sosial yang mengiringi pertambahan angkanya. Kita tidak perlu menafikkan bahwa pada masyarakat tertentu, asumsi yang berkembang adalah peralihan umur juga menandai satu dari sekian transisi-transisi hidup; dari remaja menjadi dewasa, dari menganggur menjadi bekerja, dari dibiayai orangtua menjadi mulai dilepas seutuhnya, dari sendirian menjadi berpasangan, dari kelas bawah menjadi kelas menengah, dst. Beban-beban soal transisi hidup inilah yang memicu munculnya quarter life crisis atau krisis seperempat baya. Saya nggak akan menjelaskan ini sih, tapi krisis ini betul-betul dirasakan oleh mayoritas orang dewasa. Termasuk saya. Banyak orang dewasa mengalami serangan panik, perasaan depresi, dan tertekan karena mereka benar-benar bingung dengan saking banyaknya pilihan atau kadang merasa malah tidak ada pilihan sama sekali.

        Saya sih nggak bakal ngasih solusi apa-apa di sini. Justru saya malah mau berkeluh kesah cerita pengalaman sih. Pertama kalinya saya merasakan kekhawatiran berlebih adalah ketika saya mengerjakan skripsi. Sebenernya sejak awal diterima di UGM, saya dengan penuh kesadaran mengakui bahwa saya bisa masuk di kampus bergengsi tersebut adalah karena faktor keberuntungan dari Allah. Karena hal itu juga muncul kekhawatiran dalam diri saya, bahwa saya bisa masuk tapi nggak bisa keluar dari sana. Bayangkan pujian-pujian dan rasa bangga orang-orang keetika ketrima di UGM bakal berubah jadi cemoohan kalo sampai saya nggak lulus dari sana. Tapi kekhawatiran itu dikaburkan oleh pengalaman-pengalaman serba perdana yang saya dapatkan. Ketika saya sampai pada tahap skripsi, kekhawatiran saya muncul lagi dan makin menjadi-jadi. Apalagi saya mendapatkan pembimbing yang terkenal killer dan perfeksionis. Saya bahkan sudah ditakut-takuti duluan oleh teman saya, "kating-kating lo pada belum lulus bimbingan sama bu A." Dan saya betul-betul merasa takut karena segan kepada pembimbing saya. Setiap kali saya mau chat, saya baca berungkali sebelum saya kirimkan. Setiap saya mau masuk ke ruangan beliau, maju mundur dulu saya menyiapkan mental. Setiap mendapat pesan suara ketika bimbingan online berdebar jantung saya saking takutnya. Tapi saya akhirnya toh selesai juga. Nggak bagus-bagus amat tapi setidaknya saya lulus. Alhamdulillah.

        Tapi ketenangan itu hanya bertahan sebentar, setelah saya resmi dinyatakan lulus, saya didhawuhi untuk khidmah dalam kepengurusan pondok. Sesuatu yang tidak hanya sulit, tapi rasanya mustahil saya bisa lalui mengingat pengalaman saya di kepengurusan yang nol besar. Tapi ketika saya mengutarakan itu kepada ibunda nyai, jawaban beliau,"ra perlu minder wong nduwe quran kok (tidak perlu rendah diri, punya Al-Quran kok)." Saya akhirnya menyadari pesan itu di akhir periode kepengurusan. Tapi periode kepengurusan itu adalah masa-masa di mana mental saya benar-benar dilatih. Saya yang jarang sekali bersuara di depan umum dan berbicara dengan lawan jenis terutama ketika di pondok, harus memaksa diri memimpin rapat, berani mengeluarkan ide dan menyanggah, mengalami konflik dengan berbagai pihak, serta banyak berinteraksi dengan lawan jenis. Beberapa hal yang menjadi momok saya bertahun-tahun. Yang mengenal saya lama tentu sadar dengan perubahan-perubahan saya. Tahun pertama kepengurusan, buat saya adalah tahun menempuh keikhlasan. Minggu-minggu pertama setelah saya dilantik isinya perasaan sesak yang menyempitkan dada, susah tidur setiap malam karena rasa lelah dalam pikiran, dan curhatan tiada henti pada ibu saya tentang betapa susahnya untuk ikhlas dan ikhlas. Tapi saya akhirnya pun sampai di akhir periode juga, tidak methal (keluar) di tengah jalan. Dan hikmah-hikmahnya banyak yang saya rasakan justru setelah saya boyong dari sana. 

        Lalu saya memasuki umur 25. Ketika saya memasuki usia 25 tahun beberapa bulan lalu, saya merasa biasa saja. Tidak susah, tidak sedih juga. Tidak ada hal istimewa. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi kemudian, di umur inilah, saya pertama kali merasakan patah hati dalam hidup saya. Hanya beberapa hari setelah hari ulangtahun saya. Ternyata lumayan juga rasanya. Saya tidak menangis. Hanya saja saya tidak bisa tidur dan tidak nafsu makan berhari-hari. Saya juga menonaktifkan hape saya. Sampai akhirnya saya memilih untuk pulang sehari semalam ke rumah bulek saya, tanpa sepengetahuan orangtua dan bu nyai saya. Saya merenungi bahwa ternyata saya akhirnya akan sampai pada fase ini juga. Fase patah hati dan lucunya di saat yang hampir bersamaan mendapat label picky dari orang yang bahkan tidak pernah ada urusan dengan saya. Lucunya hal kayak gini aja bikin saya overthinking. Ada-ada saja ya wkwkwk.

        Krisis-krisis seperti ini akan terus saya dan anda rasakan secara silih berganti. Akan selalu ada masalah dalam hidup, tapi akan selalu ada Tuhan untuk kasih solusi. Saat tulisan ini ditulis, sedang ada banyak hal berkecamuk dalam pikiran saya. Tapi saya rasa saya sudah lebih dewasa. Saya belum merasa sempurna, dan tidak akan pernah. Tapi saya rasa diri saya sudah jauh lebih siap dari sebelumnya.


    Continue Reading





    ('sedikit' catatan dari Kuliah Umum Online di Pesantren Bayt Al-Qur'an 
    oleh Dr. Phil. Mu'ammar Zayn Qadafi)

            
            Akhir-akhir ini kajian atas literatur tafsir klasik lebih banyak mengarah pada kajian keagamaan alih-alih sebagai kajian sejarah intelektual. Kajiannya masih terbatas pada sekedar mengungkap penafsiran atas makna-makna ayat-ayat dalam Al-Quran dari literatur tersebut. Hal ini menurut Dr. Muammar Zayn Qadafi disebabkan oleh teknologi digital yang mengubah reading experience (pengalaman pembacaan) atad tafsir itu sendiri, studi tafsir hanya dilihat dari asas manfaatnya (pragmatis), dan dalam pengkajiannya memang membutuhkan wawasan dan kemampuan kebahasaan yang cukup.

            Beliau menyebutkan bahwa kitab Al-Tafsir wa Al-Mufassirun karya Imam Al-Dzahabi yang menjadi dasar pengkajian tafsir klasik selama ini sudah tidak lagi relevan karena cenderung tidak netral dan menyeluruh dalam pengkajiannya. Misalnya saja terkait tafsir Al-Kasyaf, Al-Dhahabi lebih menonjolkan karakter kemutazilahan pengarangnya alih-alih fokus pada posisi sentralnya sebagai literatur tafsir. Imam Al-Dhahabi juga mengkritik secara keras argumen Imam Zamakhsyari yang terkesan menyerang para auliya' meskipun beliau tidak memungkiri keunggulan beliau dalam membedah sisi balaghah Al-Quran sehingga banyak ulama sunni yang beristifadah padanya. Hal ini menimbulkan kesan bahwa tafsir sunilah yang terbaik sehingga tafsir At-Thabari lah yang kemudian dimenangkan dalam kontestasi ini. Padahal tafsir Al-Kasyaf mendapat respon dari banyak ulama yang dibuktikan dengan jumlah syarah dan hasyiyah yang melingkupinya yang berjumlah sekitar 834 buah (paling banyak di antara tafsir yang lain). Dengan demikian, perlu dicarikan referensi kitab historiografi lain misalnya, al-fihris al syaamil li al turats al 'arabi al-islamiy al-makhtuth. Kitab ini tidak hanya memuat data dari seorang mufassir dan karya tafsirnya, tapi juga tempat di mana manuskrip turatsnya tersimpan, dan hasyiyah-hasyiyah seputar tafsir tersebut.

                Selanjutnya beliau mempromosikan teknik pembacaan secara genealogis dari Walid Saleh (Profesor Studi Islam Universitas Toronto) dalam pembacaan karya tafsir sebagai solusi untuk menghidupkan lagi kajian tafsir klasik. Teori ini tidak sekedar deep reading atas suatu karya tafsir tapi juga mendorong dialektika antara satu karya tafsir dengan karya tafsir yang lain yang datang terlebih dahulu. Pembacaan secara genealogis berarti memandang karya tafsir sebagai sesuatu yang turun-temurun dan melihat bagaimana karya tafsir dibaca secara kritis dan dikomentari oleh generasi-generasi setelahnya karena suatu produk tafsir tidak bisa berdiri sendiri tanpa melihat atau mengambil dari produk tafsir sebelumnya. Dengan demikian, kita dapat melihat sejarah perkembangan karya tafsir dan sejauh mana kaya tafsir mampu bertahan dan berkembang. Oleh karena itu beliau mengajak kita untuk mengubah pisau analisis kita dalam mengkaji tafsir klasik dan secara terbuka mau mengeksploarasi tafsir-tafsir yang tidak dianggap sentral.

    Continue Reading


         


            Boleh dibilang ketika kecil saya suka membaca. Biasanya abah yang dulunya membuka layanan perbaikan pompa air di rumah, setiap berapa hari sekali ngalor
    (ke arah utara maksudnya ke kota, karena dari rumah ke kota arahnya ke utara) untuk belanja kawat/tembaga yang merupakan salah satu komponen wajib dalam kumparan pompa air. Setiap kali ngalor, beliau biasanya membawa oleh-oleh untuk saya dan adik saya yang pertama (karena si bontot belum lahir) berupa tuncep-tuncepan—sebutan keluarga kami untuk lego— atau bundel majalah bobo bekas. Nah karena harga lego lumayan mahal untuk dibeli setiap saat, abah lebih sering membelikan majalah bobo bekas. Saya lupa harganya kisaran berapa, tapi satu bundel biasanya berisi 3 majalah bobo edisi lama. Saya selalu antusias membaca isi majalah-majalah tersebut. Saya baca detail isinya mulai dari apakabar Bo?, Arena Kecil, Komik Paman Kikuk Husin dan Asta, Komik Bon dan Rong-Rong, Deni Manusia Ikan (Jadi ketahuan kalo udah tua ya), Negeri Dongeng dst. Bahkan beberapa cerpennya masih terasa lekat dalam ingatan saya sampai sekarang. 

            Di samping majalah bobo bekas, ketika SD saya juga suka membaca novel dan eksiklopedi. Syukur sekali saya dulu khatam ensiklopedi di sekolah sehingga saya jadi tau sedikit hal-hal kecil yang pada akhirnya kelak saya temui ketika saya dewasa. Hobi saya masih berlanjut sampai saya masuk SMP. Saya suka membaca novel-novel di perpustakaan karena kebetulan kelas saya dulu bersebelahan langsung dengan perpustakaan. Sampai-sampai ada novel yang saya pinjam sampai kurang lebih satu semester karena selalu saya baca berulang-ulang. Novel itu bahkan sampai rusak sehingga akhirnya harus saya carikan gantinya di kota.

            Dari sekian banyak banyak buku yang saya baca ,saya mengakui bahwa buku fiksi masih mendominasi tema buku bacaan saya. Meskipun saya tidak memungkiri dulu saya suka sekali baca buku pelajaran IPS sampai-sampai saya hafal nama-nama negara dan ibukotanya serta keadaan geografisnya. Sayangnya kesukaan saya akan membaca mulai menurun ketika saya masuk SMA. Entah karena apa, saya merasa kurang sekali dalam membaca. Saya merasa hanya terpaku pada menghafalkan qur'an dan pelajaran-pelajaran di Aliyah yang memang cukup baru buat saya yang sebelumnya bersekolah di sekolah umum negeri—di Aliyah saya mengambil jurusan agama.

            Ketiak saya kuliah, kegiatan seputar membaca semakin menurun lagi dibanding SMA karena membaca menjadi beban tersendiri justru bagi saya yang mengambil jurusan sastra. Akhirnya pada masa kuliah, saya hanya membaca buku-buku yang harus saya baca sebagai bagian dari kewajiban mata kuliah yang saya ikuti. Buku-bukunya rata-rata seputar teori sastra dan novel-novel klasik yang bahasanya sumpah bikin pusing tujuh keliling. Kalo sudah sudah seperti itu saya milih nyari ringkasan di shmoop—situs penyedia ringkasan-ringkasan novel klasik, astaghfirullah. 

            Ketika saya lulus kuliah saya mulai berusaha membaca lagi. Usaha yang sebenarnya sangat sulit karena selain butuh waktu, tenaga, tapi juga butuh uang yang banyak hehehe. Sampai sekarang usaha itu masih saya lakukan meski saya akui, lagi-lagi meski saya lulusan sarjana, saya masih prefer ke buku-buku fiksi dibanding non-fiksi. Meskipun membaca fiksi atau non-fiksi sebenarnya pun sama bagusnya. 


    Dari sekian buku yang saya baca selama ini, saya ingin bercerita soal 'beberapa buku yang membekas dalam ingatan saya,' berikut di antaranya

    1. Harry Potter and the Socerer's Stone versi terjemahan Listiana Srisanti

            Terlepas dari fakta bahwa saya memang penggemar Harry Potter, Novel ini selalu membekas dalam ingatan saya karena novel ini adalah kado ulangtahun saya kedua belas dari bulek saya. Saya baca novel ini kapanpun di manapun sampai rusak tak bersisa sekarang wkwk. Saya tidak ingin mengulik seputar ceritanya karena sekali lagi saya seorang Potterhead. Ceritanya buat saya jelas sangat bagus. Yang ingin saya ceritakan di sini adalah terjemahannya maka saya sebut 'versi terjemahan.' Novel terjemahan sebagaimana buku terjemahan yang lain, tidak hanya karya dari penulis aslinya, melainkan juga karya dari penerjemahnya. Oleh karena itu penerjemah mempunyai peranan yang sangat besar dalam memberikan pengalaman terhadap pembaca dalam menikmati suatu karya. Banyak orang yang menyerah membaca buku terjemahan tanpa menyelesaikan bukunya karena tidak menikmati gaya penerjemahannya. Penerjemah Harry Potter ini benar-benar memberikan pengalaman luar biasa bagi saya sebagai pembaca karena setiap kalimatnya menurut saya diterjemahkan dengan sempurna. Sehingga hal itu bisa membuat saya menikmati dialog-dialog di dalamnya termasuk jokesnya. Padahal beda jauh ya secara kultural cerita di dalam novel itu dengan realita yang kita rasakan sebagai pembaca. Potterheads di Indonesia khususnya, harus berterimakasih pada Bu Lis ini atas kerja kerasnya. Novel ini juga yang membuat saya semakin menghargai profesi penerjemah yang memang sangat sulit. Penerjemah ibarat penafsir yang mencoba berbagai cara agar terjemah yang dikerjakannya bisa diterima dengan baik oleh pembacanya tanpa mengurangi esensi dan gaya penulisan dari penulis aslinya. 

    2. Antologi Cerpen Jailangkung karya Krishna Mihardja

            Buku ini saya baca pertama kali ketika duduk di bangku sekolah dasar. Saya kira dari judulnya, Jailangkung adalah buku cerita horor, tapi ternyata bukan. Buku ini berisi antologi cerita pendek karya Krishna Mihardja dengan tema besar sosial masyarakat. Cerita-cerita di dalamnya mencoba mengulik tradisi dan kepercayaan masyarakat kita yang masih kental dengan perkara-perkara mitos dan klenik. Isinya penuh pelajaran dan filosofi tapi cukup menyenangkan dibaca meski untuk anak SD seusia saya waktu itu, karena memang tokoh-tokoh di dalamnya rata-rata anak pelajar. Saya bahkan mengkhatamkan buku ini berkali-kali saking menariknya. Cerita pendek dari antologi tersebut yang menjadi favorit saya berjudul Tuyul, Filsafat Hampir, dan Guna-Guna. Sumpah kalo kalian ketemu buku ini wajib sekali kalian baca karena amat bagusnya.

    3. Memoar-Memoar Perjalanan Agustinus Wibowo ; Selimut Debu, Garis Batas, Titik Nol




            Saya membaca buku-buku ini atas rekomendasi sahabat saya, Ulin kucrut. Saya akui memoar perjalanan Agustinus Wibowo bukan buku travel writing biasa. Gaya berceritanya buat saya sangat memukau. Apalagi beliau memang dulunya adalah seorang jurnalis. Negara-negara yang dikunjungi juga bukan negara tujuan wisata pada umumnya. Negara yang dikunjungi adalah negara-negara bekas Uni Soviet. Dengan sudut pandang seorang backpacker, buku ini juga memberikan pengalaman penjelajahan yang berbeda. Bertemu dengan masyarakat aslinya, mengetahui kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi apalagi sebagai negara bekas jajahan Soviet, Agustinus Wibowo benar-benar membawa pembacanya menelusuri jejak kemelaratan di negara dunia kedua. Apalagi ditambah kepiawaian penulis dalam mengambil potret juga menambah representasi dan referensi dari ceritanya. Setiap halamannya adalah tulisan berharga yang sayang dilewatkan. Cerita di dalamnya adalah pelajaran-pelajaran yang rugi untuk diabaikan. Saya pastikan kalo beliau menulis buku lagi, saya pasti akan beli. Pasti! 

    4. 21 Lessons for the 21th Century karya Yuval Noah Harari

    Saya sudah punya tulisan sendiri yang membahas buku ini. Baca yaaa 21 Lessons for the 21st Century: Seni membela diri ala Yuval Noah Harari

    5. Sang Pemimpi dari Andrea Hirata

            Novel ini adalah seri kedua dari tetralogi Laskar Pelangi. Seumur-umur, saya baca ini dua kali. Pertama saat saya SMP, kedua ketika saya kuliah. Membaca novel ini pertama kali rasanya biasa saja, karena memang tujuan saya waktu itu memang menyelesaikan keeempat-empatnya, jadi tidak terlalu saya hayati tulisan-tulisannya. Tapi ketika saya membaca untuk kedua kalinya, saya mencoba hayati gaya bahasanya. Saya resapi kata-katanya. Ujungnya apa? saya menangis. Dasar sentimental. Saya jadi tidak heran dengan salah satu sahabat saya dulu, yang memang suka puisi, tergila-gila pada tulisan-tulisan Andrea Hirata. Bila ada kesempatan, saya ingin ulangi lagi membaca keempat seri dari Tetralogi ini.  

    6. Chicken Soup for the Preteen Soul dan Chicken Soup for the Kids Soul




            Buku ini secara harfiah berarti sop ayam untuk jiwa praremaja dan anak-anak. Kenapa sop ayam? sop ayam adalah comfort food orang barat, ibarat bakso mungkin kalo di Indonesia. Makanan yang menimbulkan kenyamanan bagi yang memakannya. Nah buku ini, ingin menimbulkan perasaan nyaman bagi pembacanya, maka mereka mengambil judul chicken soup. Ngomong-ngomong, buku ini mempunyai banyak seri. Ada yang untuk remaja, pra remaja, untuk kristian, untuk Afro-American dan seterusnya. Banyak banget. Apakah buku ini bagus? Bagus banget sih. Terutama yang sudah saya baca. Sangat memberikan insight baru soal cara kita melihat dunia. Buku ini juga yang membuat saya tahu lebih awal soal mental illness pada remaja jauh sebelum mental illness jadi topik pembicaraan akhir-akhir ini. Oya seri anak-anak sama pra remaja ini bentuknya beda ya. Kalo yang anak-anak pake ilustrasi gambar gitu semacam komik, jadi lucu banget. Ilustrasinya juga bagus banget pake style ala anime ghibli. Sedangkan yang untuk pra remaja, formatnya adalah tulisan-tulisan kiriman dari remaja-remaja yang mengalami guncangan-guncangan dalam hidupnya. Dua-duanya bagus dan menyentuh hati. Buku ini bikin saya sampai bela-belain pinjem ke perpus kampung sebelah.

    7. Tsukuru Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya karya Haruki Murakami

        Kalau kalian ingin mencoba membaca karya-karya Murakami, maka bisa dimulai dengan novel ini. Novel Tsukuru tanpa warna tidak terlalu tebal pun tidak tipis juga. Novelnya menceritakan soal medioker yang galau karena dirinya sama sekali tidak menonjol dibanding teman-temannya yang lain. Pesan saya jangan membaca ini ketika lagi galau ya. Karenan perasaan yang saya dapatkan setelah selesai membaca ini rasanya kosong. Tapi terlepas dari itu novel Murakami selalu punya ciri khas yang istimewa untuk dinanti. Oya novelnya mengandung konten dewasa dan ada yang hampir ngarah ke suicide, jadi mungkin perlu agak 'waspada' hehe. Buku bagus tapi karena after tastenya, saya belum berminat baca untuk kali kedua dan seterusnya.

         

    8. Di Tanah Lada karya Ziggy Zesyazeoviennazabrizkie




            Saya awalnya nggak terlalu tertarik sama karya Ziggy. Tapi suatu hari saya tiba-tiba terdorong untuk beli dan baca. Saya menyelesaikan bukunya dalam waktu satu hari. Setelah khatam, saya baru sadar kenapa buku-bukunya laris di pasaran. Gaya ceritanya tidak biasa, nama-nama tokoh yang diambil juga tidak biasa. Dan jalan ceritanya pun tidak biasa. Oiya jangan tertipu dengan sampul dan judulnya yang lucu, karena isinya nggak ada lucu-lucunya sama sekali. Tapi kalo ada uang, saya pengen beli dan baca semua buku-bukunya Ziggy.

    9. the Years of the Voiceles karya Okky Madasari

                                                         

            Novel ini sebenernya versi Inggris dari novel Okky berjudul Entrok. Entrok sendiri artinya kutang / underwear wanita (semacam bra). Saya sendiri memang baca versi Inggrisnya karena kebetulan diskon hampir 90 persen di Gramedia. Novel ini menceritakan perjuangan Marni, perempuan miskin yang juga penghayat keyakinan animisme. Seperti judulnya, years of the voiceless, tahun-tahun tanpa suara, Marni semenjak awal perjuangannya selalu dibungkam suaranya oleh orang yang lebih otoritatif karena statusnya sebagai kaum marjinal; perempuan, miskin, dan seorang penghayat keyakinan. Membaca novel ini membuat saya lebih berusaha lagi menjadi manusia sebaik-baiknya dengan memanusiakan orang lain dengan memahami sudut pandang kaum minoritas terutama penghayat keyakinan, yang di Indonesia sendiri sebenanya tidak terhitung jumlahnya namun jarang diketahui karena mereka tidak bisa mengakuinya di kartu kependudukan mereka. Btw, novel-novel Okky yang lain juga sangat menggugah hati dan tidak jauh-jauh dari representasi kaum-kaum minoritas. Menurut saya perlu dibaca untuk memperkaya sudut pandang agar kita semakin berempati pada orang lain.

    10. Animal Farm karya George Orwell


            Kayaknya nggak perlu banyak saya jabarkan karena novel ini sangat populer ya. Secara garis besar, dengan cerita berbentuk fabel, novel ini adalah alegori yang menggambarkan rezim komunis di Rusia di bawah kepemimpinan Stalin. Tagline yang sangat fenomenal dari buku ini, All Animals Are Equal / But Some Are More Equal Than Others, semua hewan adalah setara, tapi beberapa lebih setara dibanding yang lain. Isinya sudah jelas sih, kemuakan penulis terhadap rezim mereka. Bagus banget tapi buat saya cukup saya baca sekali aja.


    *Semua foto buku bukan koleksi pribadi, silahkan klik link-nya ya kalo mau tau sumbernya
    Continue Reading

     



    21 Lessons for the 21st Century atau yang secara harfiah berarti 21 pelajaran untuk menghadapi abad ke 21 merupakan karya ketiga Yuval Noah Harari setelah dua karya monumentalnya, Sapiens dan Homo Deus. Yuval Noah Harari sendiri adalah profesor sejarah dunia dari Israel, sekaligus alumni program doktor Universitas Oxford.


    So, What is it about?

    Seperti judulnya, buku ini memuat hal-hal yang menurut Harari penting untuk diperhatikan terutama untuk gen Z  demi menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk di abad 21. Meskipun buku ini dan buku sebelumnya saling berkaitan erat, kita nggak perlu-perlu banget untuk baca buku-buku sebelumnya demi bisa menikmati isinya.


    How about the content?

    Wait, cerita dikit, haha. Jadi ini buku adalah buku Harari kedua yang saya baca setelah Homo Deus. Dan FYI, saya gagal untuk menamatkan Homo Deus karena somehow it is bored and I can’t get hook up on the topic. Rasanya, it is not my cup of tea. Kemudian suatu hari, entah kerasukan apa, saya yang super bingung pas masuk periplus mau beli buku apa, tiba-tiba memilih lagi-lagi karya Harari karena saya lagi nggak mau buang-buang uang untuk sesuatu yang cepat habis–buku fiksi kan cepet banget ya abisnya karena adiktif haha. Singkat cerita, pada akhirnya saya baca ini. Beda dari buku-buku non-fiksi saya yang sebelumnya saya baca, saya bener-bener prepare banget untuk baca buku ini–prepare otak dan pensil haha karena selain topiknya yang berat, ini kan Inggris ya buk, nggak setiap kata saya tau artinya kaaan. Saya juga baca buku ini bener-bener rinci mulai dari testimoni experts, profil pengarang, dedikasi, acknowledgements sampai ke intronya sebelum saya masuk ke contentnya. Pada momen membaca perintilan-perintilan inilah saya menyadari bahwa this one is totally different dari buku yang sebelumnya gagal saya selesaikan. Why? tentu saja segi bahasanya! Buku sebelumnya, Homo Deus, saya baca dalam versi Bahasa Indonesia, sementara 21 Lessons saya baca dalam versi Bahasa Inggris alias bahasa original bukunya. It’s widely known ya, bahwa versi terjemahan dan versi asli pasti feelnya beda apalagi kalo penerjemahnya emang kurang bisa menyampaikan feel dan nuance dari buku aslinya. Pas baca Homo Deus, saya bloon parah dan ngerasa pening banget semakin kesana untuk memahami bukunya. Tapi yang satu ini, rasa curious saya malah semakin menjadi-jadi di setiap halamannya. Saya jadi sadar, Harari ini dalam bayangan saya oke banget kalo lagi ngasih kuliah. Bahasa penyampaian di bukunya kece parah karena kita bener-bener diajak dialog secara nggak langsung dengan gaya penyampaian ala-ala Ted Talk gitu. Contoh-contoh yang dia sajikan bener-bener real dan relate sama apa yang penduduk dunia alami saat ini. Dia sering banget menyajikan pengalaman-pengalaman pribadi dia sebagai seorang laki-laki, gay, ateis, Israel, dan sejarawan. Ini yang bikin buku ini jadi terasa valid dan mengakomodir banyak suara-suara minoritas di luar sana. However, kadang saya jengah sendiri kalo dia sudah mulai menunjukkan ketidak percayaannya soal narasi-narasi liberal dsb. Jadi buku ini fun and sickening at the same time. 

    Terdiri dari 5 bab dan 21 sub bab, ada sangat banyak topik yang dia bahas mulai dari Tuhan sampai AI atau kecerdasan buatan. Secara ringkas, menurut Harari, di abad 21 dunia akan menghadapi setidaknya 3 bencana besar yakni dominasi AI, perang nuklir dan bencana ekologi karena perubahan iklim. Oleh karena itu, dunia yang anarki ini perlu bersatu untuk menghadapinya. Lebih lanjut lagi menurut Harari, kita harus berhenti percaya atau setidaknya berhenti terlalu fokus pada narasi-narasi yang menurutnya fiksi seperti Tuhan, dogma agama, nasionalisme, ritual-ritual dst karena hal itu membangun sekat antar manusia dan menimbulkan banyak perselisihan. Sebagai sintesisnya, Harari menawarkan sekularisme beserta keunggulan-keunggulannya,

    “Secular Science has at least one big advantage over most traditional religions, namely that it is not terrified of its shadow , and it is in principle willing to admit its mistake and blindspot.”

    Harari menekankan bahwa baginya, sekularisme adalah narasi paling masuk akal untuk menghadapi dunia abad 21 karena ia tidak bias pada dogma tertentu. Sekularisme bersifat netral karena prinsip utamanya adalah compassion over obedience, belas kasihan di atas kepatuhan. Sekularisme tidak hanya milik orang atheis, tapi bagi siapapun yang percaya bahwa kebaikan adalah selama tidak merugikan orang lain. “Secular people abstain from murder not because some ancient book forbids it, but because killing inflicts immense suffering on sentient beings.” (Harari, p. 239) Menjadi sekuler, seseorang tidak harus menjadi ateis, menghilangkan ritual-ritual keseharian atau melepas atribut keagamaan. Dalam kalimat pamungkas di bab secularism, dia juga menantang para agamais untuk melakukan otokritik terhadap flaws dalam kepercayaan mereka.

    Harari juga membantah adanya free will dalam diri setiap manusia karena tidak pernah ada manusia yang benar-benar punya kehendak bebas. Kehendak dalam diri manusia selalu disetir oleh proses biokimia yang terus terjadi sepanjang hidup kita. Termasuk soal sexual attraction yang dialami Harari. Makanya saya katakan bahwa buku ini isinya argumen self-defensenya Harari. Pokoknya Harari vs the wordlah.

    Sebenernya niih, hampir semua kepercayaan dan ideologi diserang habis sama si Harari ini. Bahkan dia mengkritik Israel juga. Jadi santai aja baca ini guisss. Nggak usah kedistract sama argumen-argumennya. Just stand up for yourself ajaa. Kalo kalian termasuk orang religius, nggak usah heran sama argumen-argumennya yang bersifat materialis banget, karena dia emang seenggak percaya itu sama dunia metafisika. 


    How do I rate this book?

    5/5. Buku ini nagih banget dari segi isi dan bahasa penyampaiannya. No need to be in his side untuk jatuh cinta sama buku ini. Rasanya kayak baca buku teori konspirasi tapi in a scientific way. Seru dan adiktif di setiap halamannya. Meski banyak hal-hal yang mungkin kontradiktif dengan nilai-nilai yang kita percaya, tapi masih lebih banyak nilai-nilai positif yang bisa kita ambil hikmahnya.

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Widdat Ulya Medioker

    Manusia biasa dengan kemampuan rata-rata

    Follow Us

    • twitter
    • pinterest
    • instagram

    Labels

    Hobby Journal Junk Opinion

    recent posts

    Blog Archive

    • Februari 2025 (1)
    • Januari 2024 (1)
    • Oktober 2023 (2)
    • Juni 2023 (2)
    • Mei 2023 (1)
    • Agustus 2022 (1)
    • Januari 2020 (1)
    • September 2019 (1)
    • Juni 2018 (1)

    Popular Posts

    • 'Educated' : Perjuangan Tara Westover Membebaskan Diri dari Keluarga Fanatik-Konservatif
    • Tentang Ibu

    Most Popular

    • 'Educated' : Perjuangan Tara Westover Membebaskan Diri dari Keluarga Fanatik-Konservatif
    • Tentang Ibu



    Twitter instagram pinterest

    Created with by BeautyTemplates

    Back to top