LIEBE.

    • Home
    • Hobby
    • Opinion
    • Journal
    • Junk

    Aku lahir di kampung Sukamaju. Sebuah nama yang sangat mainstream bukan untuk sebuah kampung? Mungkin nama kampungku mengingatkan kalian dengan nama desa di buku pelajaran SD kalian. Tidak, tidak. Nama kampungku tidak terinspirasi dari buku pelajaran SD. Karena Mbah Joyo, perintis kampungku, konon bahkan tidak menyentuh bangku sekolah. Namun ia tahu, maju berarti bergerak ke depan. Maka ia namakan kampung kami Sukamaju.
    Sukamaju adalah kampung yang cukup majemuk, ada keluargaku yang suku Jawa, keluarga Inong yang pindah dari Aceh, keluarga Ustadz Anto yang penganut Islam taat atau keluargaku yang Islam moderat. Tak ketinggalan pula keluarga si cantik Kristina, teman sekelasku di bangku sekolah dasar, yang merupakan pelayan gereja yang setia. Keluarganya juga bukan satu-satunya umat nasrani di kampungku.
    Dengan segala perbedaanya, kampungku boleh dibilang cukup kondusif. Tak ada yang terganggu dengan suara keras toa musholla, atau merasa tergerus keimanannya dengan kerasnya paduan suara di kapel mungil dekat rumah Kristina.
    Setidaknya sampai dua tahun lalu.
    ****
    Saat itu aku baru saja diterima di sebuah perguruan tinggi bergengsi di Malang. Ketika kulihat berita headline sebuah berita di Koran, seorang mantan kepala daerah ditahan karena dianggap menista sebuah agama. Aku sebenarnya bukan orang yang melek dengan situasi sosial-politik di Indonesia. Berhubung sejak SMA, minatku di pengetahuan alam. Bahkan sampai sekarang. Tapi headline berita itu mendorongku untuk browsing lebih lanjut.
    Kudengarkan dengan seksama pidato yang mana yang membuat mantan kepala daerah itu dianggap menista agama. Lah gini aja? Batinku. Setelah itu aku tak terlalu mengikuti perkembangan kasus itu lagi. Yang kutau, mantan kepala daerah itu mendekam dua tahun di penjara. Ah yasudahlah, batinku lagi. Mungkin jaksa lebih tahu. Mungkin diksinya memang salah. Atau mungkin niatnya memang melecehkan agama itu. Agamaku. Islam.
    Dua bulan kemudian, di masa liburan semester, aku pulang ke kampungku. Sukamaju. Aku rindu bapak dan ibu. Aku rindu Inong, dan tentu saja, aku sangat merindukan Kristina. Mereka, Inong dan Kristina, dua gadis manis yang sudah jadi sahabatku semenjak sekolah dasar.
    Perjalanan Malang ke Jogja terasa sangat panjang, aku tidak sabar lagi. Maka segera saja ku chat Kristina dan Inong melalui whatsapp. Aku sampai Jogja jam 5 sore.
    Aneh. Kristina terakhir online dua bulan yang lalu. Sedangkan Inong tak juga membalas chatku. Meski kami bersahabat, memang semenjak kuliah kami jarang bertukar kabar, apalagi praktikum dan berbagai kompetisi menyita waktuku. Meski begitu, kejadian-kejadian penting dalam hidupku selalu kuceritakan pada mereka. Begitu pula sebaliknya.
    Pikiranku tidak tenang. Pertanyaan-pertanyaan mencuat dalam kepalaku. Ada apa sebenarnya.
    ***
    Keputusan bapak dan ibu sudah bulat. Aku akan masuk pesantren. Aku tidak masalah. Belajar di manapun sama saja.
    Maka hari itu, 6 tahun lalu, aku menginjakkan kakiku ke pesantren asuhan Yai Ahmad di Malang. Pesantren Yai Ahmad adalah pesantren kitab salaf. Di mana ilmu agama sangat dijunjung tinggi dan kyai amat sangat disegani.
    Bekal sedikit pengetahuan tentang kitab kuning dari bapak, membuatku menyerap cepat ilmu yang diajarkan di sana. Maka dalam kurun waktu 6 tahun, 1000 bait Nadzam alfiyah ibn Malik sudah kuhafalkan. Dan puluhan kitab sudah kupelajari. Aku jadi santri kesayangan Yai Ahmad. Ke mana-mana beliau pergi, selalu ada aku yang mengantar beliau.
    Sampai suatu ketika, Yai Ahmad memanggilku ke ndalem, dini hari sekitar pukul 3 pagi. Aku terkesiap. Tidak biasanya. “Assalamu’alaikum yai,” ucapku mengetuk pintu kamar beliau. “Mlebuo (masuklah).” “Nang, anakku wadon wis nembe lulus (nak, anak perempuankuk baru saja lulus”.” Firasatku tak baik. “Awakmu ora ana calon tah? (kamu tidak ada calon istri kan?)” Benar saja. Aku diam. Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku tidak mencintainya. Putri kiaiku. Terlintas dalam pikiranku saja tidak.
    Hari itu, pikiranku benar-benar tidak tenang. 6 tahun pengabdianku kepada Yai, tidakkah cukup? 6 tahun pengabdianku pada beliau, berujung seperti ini? Ah, aku ingin berkata kasar.
    Akhirnya hari itu juga, aku mantap berkata tidak pada Yai Ahmad. Detik itu juga aku pamit. Aku sakit hati. 6 tahun pengabdianku, tidak berarti apa-apa rupanya di mata beliau. Beliau murka.
    Tapi biarlah, bagiku mencintai adalah hak asasi. Sekali hakku terenggut, aku berhak pula membelanya. Aku tak peduli beliau tak merelakanku. Aku ingin memperjuangkan cintaku.
    Aku pindah ke kost dekat kampus. Aku ingin melupakan semuanya. Melupakan pesantren dan semua kenangannya.
    ***
    Aku dan Inong berteriak di luar pagar rumah Kristina sambil membawa ember bekas dan dirigen bekas. “Kristinaaaaa, ayolaaah.” Pintu rumahnya terbuka. Pak Frans. Ayah Kristina. Aku tersenyum, Inong tersenyum. Pak Frans hanya tertawa. “Kristinaaa, gek ooo (buruan)” Kristina keluar sambil menguap dan mengucek matanya yang masih penuh tai mata. Aku tertawa. Dia tetap cantik, batinku. Matanya berbinar melihat bawaan kami.
    “Sahur-sahur…” Teriak Kristina. Suaranya memang merdu, bahkan untuk sekedar berteriak saja. “Kau sudah kerjakan PRmu?” aku menoleh. “Sudah dong. Cuma perkalian peacahan mah, gampang.” Kataku. “Dasar!!!” Balas Inong sambil menjitak kepalaku. “Apa! Awas kau minta ajar aku nanti.” Balasku sambil tertawa. “Kau mau balas jitak kepalaku?” “Tentu tidak, aku ‘kan menghargai teman perempuanku.” Sahutku sampil sambil menepuk dada.
    ***
    Kutelpon Inong berkali-kali. Ia tak mengangkatnya sama sekali. Padahal beberapa kali tadi dia sempat online. Tiba-tiba notifikasi WA muncul. Inong! Kita bertemu di Kopi Sonja dekat Malioboro, begitu sampai. Singkat. Ada apa sebenarnya? Biasanya bila aku pulang ke Jogja, begitu mengirimkan chat pada Kristina dan Inong, mereka akan membanjiri chatku dan langsung menelponku. Telepon video. Bertiga. Tapi sekarang, Inong hanya membalasku dengan chat singkat. Sedangkan Kristina, bahkan tidak aktif sejak lama. Pikiranku tambah kalut.
    ***
                Bapak seorang pribadi yang sangat ramah meski perangainya sebenarnya keras. Bapak sangat dekat dengan tetangga lapaknya di Malioboro yang keturunan Cina. Ko Tian namanya. Ko Tian sering bertandang ke rumahku. Bercengkerama dengan bapak. Bicara banyak. Sambil menghisap lintingan tembakau yang ia bawa sendiri dari rumahnya. Terkadang aku duduk di antara mereka. Menyimak obrolan mereka sambil memangku dagu dengan tanganku. Karena apa yang mereka obrolkan, satupun tak  ada yang aku tahu. Aku hanya mengingat kata-kata menarik dalam obrolan mereka, pluralisme. Kata-kata yang kelak akan sangat familiar di masaku.
                Aku ingat sekali, waktu itu masa-masa pemilihan presiden. Bapak dan Ko Tian berbeda pilihan. Tapi bapak selalu mengatakan pada Ko Tian, “aku menghormati pilihanmu dalam pemilu, sebagaimana aku menghormati pilihanmu dalam keyakinanmu.” Dan setelah mengucapkan kalimat itu, bapak menyesap kopinya dalam. Ko Tian tersenyum.
    ***
    Kopi Sonja, Januari 2017
    Langit gelap. Hujan deras di luar. Klakson bersautan. Orang-orang sudah mulai jengah di jalanan. Begitu tiba, Aku mencari ke seluruh penjuru kafe kecil itu. Inong, sahabatku, duduk termenung di dekat jendela.
    Saat kuhampiri, aroma caramel macchiato menyeruak. Rupanya masih Inong yang sama. Hanya raut mukanya yang berbeda.
    “Inong.” Dia agak terkejut. Habis melamun rupanya. “Kenapa di sini?” “Kristina pergi. Keluarga Kristina pergi. Begitu pula Noel, Adrianus, Brigitta.” Ekspresinya datar tapi tangannya bergetar. Firasatku benar. Ada yang tak beres. Lalu mengalirlah cerita Inong. Tak sekalipun ia berhenti. Pun aku. Tak sekalipun memotong. Bahkan secangkir Americano yang kupesan sampai dingin tak tersentuh.
    Kristina dan keluarga nasrani yang lain diminta pergi. Mereka terang-terangan mendukung mantan kepala daerah ‘penista agama’ itu. Ustadz Anto geram. Ia menuduh mereka penista, melakukan kristenisasi, dan lantunan pujian mereka dianggap mengganggu warga.
    Mata Inong berkaca-kaca. Sedangkan aku? Mataku merah. Aku marah. Aku marah pada orang-orang Sukamaju, marah pada bapak, ibu, Ustadz Anto dan yang lain. “Kamu marah?” “Tentu saja,” kataku. “Di mana Kristina sekarang?” “Aku tak tahu. Terakhir, kudengar keluarga mereka memutuskan ke Jakarta.” “Ah, shit”
    ***
    Hatiku membuncah bahagia
    Ketika kedengarkan suaramu
    Melantunkan pujian merdu
    Pada yang kau sebut dengan Bapa
    Rasanya semenggetarkan hatiku
    Ketika kudengar lantunan mereka
    Yang meliuk-liuk
    Melanggamkan ayat-ayat magis kitab suciku
                
                 “Pak, aku akan ke Jakarta,” tandasku tiba-tiba. “Untuk apa?” “Menemui Kristina,” jawabku mantap. “Kau mencintainya?” “Ya.” “Kau pilih Kristina, maka selesai sudah hubungan kita nak. Bapak sudah cukup menahan kesabaran ketika kau menolak dhawuh Yai Ahmad. Dan sekarang? Namanya kau menggadaikan imanmu.” Bapak murka. Sangat murka. Sekeras apapun beliau, tak pernah ia menunjuk-nunjuk mukaku. Matanya memerah. Ia menangis. Satu-satunya anak yang ia harapkan, meruntuhkan semua harapannya. Di sudut rumah, ibu terisak.
                Aku tak peduli. Aku terlanjur marah pada bapak atas kepergian keluarga Kristina. Bapak menghargai pilihan orang. Tapi itu dulu. Sekarang, bahkan pilihan anaknya pun tak ia hiraukan.
                Maka siang itu, kukemasi seluruh bajuku. Bapak memalingkan muka. Ibu menangis terisak sambil masih terus membujukku. Aku memeluk ibu. Kukatakan bahwa aku tetap  mencintainya, mencintai bapak, menghormati mereka, sejauh apapun hubunganku dengan mereka. Tapi aku sudah membulatkan tekadku. Aku akan ke Jakarta. Aku akan menemukan Kristina. Akan kukatakan padanya bahwa aku mencintainya.
    ***
    Begitu tiba di Stasiun Senen, aku langsung memesan taksi menuju alamat yang terngiang dalam kepalaku. Alamat yang selalu diceritakan Kristina dalam chatnya. Sebuah Gereja Mungil. Gereja Sion namanya. 15 menit perjalanan terasa begitu lama.
    Ketika sampai di sana, ternyata sedang ada acara. Kata seorang penjaga di sana, itu upacara kematian. Oh begitu, batinku.
    Tapi begitu kulihat lamat-lamat karangan bunga berjejer di depan gereja. Lututku lemas. Elizabeth Lusia Kristina. Itu nama Kristina. Kristinaku yang kucinta. Kristina ku telah pergi. Sebelum aku mengatakan aku mencintainya. Sebelum aku  minta maaf padanya. Minta maaf untuk semuanya.
    Aku telah meninggalkan kedua orangtuaku, membuat marah kyaiku, dan kini Kristina meninggalkanku. Aku sendirian.



    *Karya ini merupakan sedikit pengubahan dari karya yang kukumpulkan untuk kelas Creative Writing di jurusanku
    Continue Reading
    Perspektif Realisme dalam Memandang Konflik Amerika Serikat dan Turki


    Hasil gambar untuk konflik Amerika dan Turki
    Presiden AS, Donald Trump dan Presiden Turki, Recep  Tayyip Erdogan
    (sumber:www.voaindonesia.com)

    Sebagai dua negara yang sama-sama menjadi bagian dari NATO (North Atlantic Treaty Organization), hubungan Amerika Serikat dan Turki sudah mempunyai sejarah yang cukup panjang meski sebenarnya hubungan diplomatik keduanya sudah jauh terjadi sebelum terbentuknya NATO yakni sejak 1831 ketika AS membangun hubungan diplomatik dengan kekaisaran Ottoman atau Kesultanan Utsmaniyah. Kemudian, setelah Perang Dunia pertama dan berdirinya republik Turki, AS resmi menjalin hubungan diplomatik dengan Turki pada tahun 1927 (US Relation with Turkey, par. 1)
    Namun, baru-baru ini hubungan keduanya kian memanas. Hal ini berawal karena Turki menangkap seorang pendeta berkebangsaan AS dalam operasi penumpasan besar-besaran disusul setelah adanya dugaan usaha kudeta terhadap presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan pada musim panas 2016.  Brunson dituduh sebagai anggota mata-mata dan punya andil membantu jaringan terorisme di Turki karena mempunyai keterkaitan dengan musuh utama Erdogan, Fethullah Gulen seorang ilmuwan Turki yang juga pemimpin FETO, organisasi yang dicurigai sebagai kelompok terorisme oleh pemerintahan Erdogan. Penangkapannya memicu kemarahan Gedung Putih di Washington DC, Amerika Serikat. Tuduhan tersebut dianggap terlalu lemah, sehingga pemerintah AS meminta pemerintah Turki untuk membebaskan Brunson. Dalam negosiasi tersebut, akhirnya Turki mau membebaskan Brunson dengan syarat, AS mau mengekstradisi Fethullah Gulen. Meski permintaan Turki dikabulkan, namun Turki mengingkari janjinya untuk membebaskan Brunson. Brunson hanya dibebaskan dari penjara namun menjadi tahanan rumah di Turki dan tetap dipantau oleh pemerintah. Akibat hal tersebut, pada Agustus 2018 Donald Trump sampai menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap dua menteri utama Turki, Menteri Hukum dan Kehakiman serta Menteri Dalam Negeri, dengan membekukan aset dan properti mereka serta mencegah mereka melakukan transaksi dengan unit usaha AS. Meski pada akhirnya Brunson dibebaskan pada Oktober 2018, konflik tersebut belum juga reda.
    Konflik yang pada awalnya terlihat sepele ini menimbulkan konflik-konflik yang lebih besar yang melibatkan Turki dan Amerika dan bahkan berdampak pada keadaan perekonomian Turki. Sanksi lanjutan AS akibat konflik tersebut yang menaikkan tarif impor baja dan aluminium dari Turki telah melemahkan mata uang Turki, Lira pada titik terendah dalam satu dasawarsa terakhir. Dikutip dari CNN.com, sanksi tersebut direspon sengit oleh Pemerintah Turki dengan mengintensifkan serangan dagang yakni menaikkan tarif tinggi terhadap barang-barang asal AS seperti mobil, alkohol dan rokok.
    Dalam Ilmu Hubungan Internasional, terdapat beberapa teori yang bisa digunakan untuk mengkaji konflik antara AS dan Turki ini. Salah satu teori yang sangat populer adalah realisme. Realisme adalah teori paling klasik yang sudah muncul sejak zaman Yunani kuno. Sebagaimana dikutip dari The Oxford Handbook of International Relations (2010), teori ini berpusat pada empat gagasan utama: groupism, egoism, anarchy, dan power politics. Yang dimaksud dengan groupism di sini adalah bahwa dalam realisme solidaritas grup mempunyai peran yang amat penting dalam politik domestik, konflik, kerjasama antar pemerintah dalam esensi hubungan internasional. Egoism mengacu pada ungkapan bahwa egoisme merupakan sifat dasar alamiah manusia. Ketika seorang individu atau kelompok mengambil sikap politik umumnya didasari pada kepentingan pribadi. Sedangkan anarchy adalah gagasan bahwa pada dasarnya sistem politik internasional tidak memiliki pemerintah berdaulat yang mengatur sistem tersebut.. Bertumpunya egoism dan groupism tersebut dalam sebuah kondisi yang anarki memicu hubungan internasional berdasarkan pada politik kekuasaan dan keamanan. Perlu diketahui juga bahwa groupism dan egoism dapat digunakan baik dalam politik domestik maupun internasional.
    Untuk memahami konflik antara AS dan Turki, ada tiga level analisis yang dapat dipakai; negara, individu, dan sistem. Dalam hal ini maka akan digunakan salah satu saja dari ketiga level analisis tersebut yakni, level individu dengan berfokus pada pribadi presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Erdogan adalah presiden Turki yang menjabat sejak 2014. Sebelumnya ia juga menjabat sebagai Perdana Menteri Turki sejak 2003. Hal ini terjadi karena sebelumnya, kepala pemerintahan Turki (perdana menteri), dipilih oleh parlemen. Pada tahun 2014, untuk pertama kalinya setelah 91 tahun, Turki menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Pada pemilu kedua di tahun 2018, Erdogan kembali terpilih menjadi presiden Turki dengan unggul sebanyak 55 persen dari lawannya, Muharrem Ince (Tirto.id). Di bawah kepemimpinannya, Turki yang awalnya dipandang sebelah mata berhasil menjadi negara dengan ekonomi terkuat ketujuh di Eropa. Maka tidak heran jika dalam total 14 pemilihan termasuk dua pemilihan presiden, dia selalu menang. Sehingga total masa kepemimpinannya berjumlah kurang lebih 16 tahun. Namun dalam konsep penyelenggaraan negara di Turki, presiden hanyalah simbol kepala negara, penentu segala kebijakan adalah perdana menteri. Erdogan yang sebelumnya sudah menjabat sebagai perdana menteri selama 11 tahun ingin mengubah hal tersebut guna mempermudah tujuannya. Hal inilah yang membuat oposisi Erdogan menuduh ia ambisius dan mulai bertindak diktator.
    Berkaitan dengan konflik bilateral AS dan Turki, jika dirunut secara hati-hati hingga ke akar permasalahan, konflik ini sebenarnya berangkat dari hubungan buruk Erdogan dengan koleganya, Fethullah Gulen. Padahal keduanya, awalnya merupakan karib yang sama-sama punya andil dalam membangun jaringan politik Islam di Turki. Jika kita mempelajari sepintas tentang sepak terjang Gulen, ia adalah seorang ulama yang cukup disegani di Turki. Gulen mempunyai peran dalam mengembangkan organisasi non-profit yang manfaatnya banyak dirasakan oleh masyarakat luas. Dalam hal politik, Gulen juga punya peran penting terhadap keberhasilan Erdogan menjadi perdana menteri pada tahun 2003. Sebelumnya, Gulen terkenal aktif dalam melawan ideologi sekuler yang berkembang di Turki, hal itu pula yang menyebabkan kepindahannya ke Pennsylvania, AS pada tahun 1999. Pengaruhnya yang cukup kuat membuatnya mempunyai cukup banyak pengikut setia baik di dalam maupun di luar pemerintahan.
    Pada dasarnya Erdogan dan Gulen berangkat dari ideologi yang hampir sama yang pada intinya adalah melawan ideologi sekuler. Hal itu pula yang membuat mereka menjadi sekutu politik yang cukup dekat. Namun entah karena apa, belum jelas hingga saat ini mereka berseteru. Yang jelas Gulen dianggap menjadi dalang dibalik berbagi aksi kudeta terhadap pemerintahan Erdogan. Menurut sumber tirto.id, surat penangkap Gulen diterbitkan pada Agustus 2016. Salah satu isinya menyebutkan bahwa Gulen memerintahkan kudeta 15 Juli. Pada 15 Juli sendiri memang terjadi kudeta oleh militer Turki yang menyebabkan 238 orang tewas dan 2.200 lainnya terluka. Ribuan orang di posisi kehakiman, militer dan kepolisian dimutasi dari jabatan mereka dan setidaknya 18.000 orang ditahan karena diduga terlibat kudeta .
    Banyak dugaan bahwa Erdogan menjadikan Gulen sebagai kambing hitam dari aksi kudeta Turki lebih karena dendam pribadi. Hal ini berdasarkan pernyataan Gulen sendiri.
    Peristiwa yang terjadi di Turki, yang pada akhirnya menyeret negara tersebut ke dalam pusaran konflik dengan Amerika Serikat, sedikit banyak membuktikan teori realisme dalam melihat human nature atau sifat dasar manusia yang selalu ingin berkuasa dan menjadi lebih dominan dibanding yang lain. Bahwa sikap-sikap yang diambil sebuah negara merupakan cerminan dari siapa yang memimpinnya. Keputusan Erdogan untuk menahan Brunson sebagai buntut perlawanannya terhadap segala hal yang berkaitan dengan Gulen, boleh dikata adalah sebuah bentuk keegoisan. Dan perlawanannya terhadap Gulen didasarkan pada kepentingan pribadinya untuk mengamankan dan melanggengkan posisinya sebagai presiden.
    Sedangkan apa yang mendasari Trump dan pemerintah AS dalam menyerang balik kebijakan Turki bisa jadi adalah sebuah bentuk solidaritas. Tidak saja karena Trump berkewajiban melindungi warga negaranya, tapi juga bentuk solidaritas sebagai sesama warga negara Amerika Serikat.



    Bibliografi:

    Firman, Tony. (2018). Kemenangan Erdogan dan Kebangkitan Partai Kiri di Turki. Tirto.id. 02 Juli 2018. Diambil dari tirto.id/kemenangan-erdogan-dan-kebangkitan-partai-kiri-di-turki-cNct.
    Sudiaman, Maman.(2016). Erdogan, Kudeta, Sekularisme, dan Tuduhan pada Gulen. Republika. 18 Juli 2016. Diambil dari www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/07/17/oagay6319-erdogan-kudeta-sekulerisme-dan-tuduhan-pada-gulen
    Sulistiani, Rima. (2016). Turki perintahkan tangkap Fethullah Gulen. Tirto.id. 5 Agustus 2016. Diambil dari tirto.id/turki-perintahkan-tangkap-fethullah-gulen-bxAe
    “US relation with Turkey”. US Department of State. Diambil dari www.state.gov/u-s-relations-with-turkey/
    Wohlfort, William C.. (2010). Realism. In Reus-Smit, Christian and duncan Snidal (Eds), The Oxford handbook of international relations (pp. 132) . Oxford, UK: Oxford University Press.

    Continue Reading
    Hello!

    A simple hello could lead to a million things.
    -Anonym-



    Continue Reading
    Newer
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Widdat Ulya Medioker

    Manusia biasa dengan kemampuan rata-rata

    Follow Us

    • twitter
    • pinterest
    • instagram

    Labels

    Hobby Journal Junk Opinion

    recent posts

    Blog Archive

    • Februari 2025 (1)
    • Januari 2024 (1)
    • Oktober 2023 (2)
    • Juni 2023 (2)
    • Mei 2023 (1)
    • Agustus 2022 (1)
    • Januari 2020 (1)
    • September 2019 (1)
    • Juni 2018 (1)

    Popular Posts

    • 'Educated' : Perjuangan Tara Westover Membebaskan Diri dari Keluarga Fanatik-Konservatif
    • Tentang Ibu

    Most Popular

    • 'Educated' : Perjuangan Tara Westover Membebaskan Diri dari Keluarga Fanatik-Konservatif
    • Tentang Ibu



    Twitter instagram pinterest

    Created with by BeautyTemplates

    Back to top