LIEBE.

    • Home
    • Hobby
    • Opinion
    • Journal
    • Junk


         


            Boleh dibilang ketika kecil saya suka membaca. Biasanya abah yang dulunya membuka layanan perbaikan pompa air di rumah, setiap berapa hari sekali ngalor
    (ke arah utara maksudnya ke kota, karena dari rumah ke kota arahnya ke utara) untuk belanja kawat/tembaga yang merupakan salah satu komponen wajib dalam kumparan pompa air. Setiap kali ngalor, beliau biasanya membawa oleh-oleh untuk saya dan adik saya yang pertama (karena si bontot belum lahir) berupa tuncep-tuncepan—sebutan keluarga kami untuk lego— atau bundel majalah bobo bekas. Nah karena harga lego lumayan mahal untuk dibeli setiap saat, abah lebih sering membelikan majalah bobo bekas. Saya lupa harganya kisaran berapa, tapi satu bundel biasanya berisi 3 majalah bobo edisi lama. Saya selalu antusias membaca isi majalah-majalah tersebut. Saya baca detail isinya mulai dari apakabar Bo?, Arena Kecil, Komik Paman Kikuk Husin dan Asta, Komik Bon dan Rong-Rong, Deni Manusia Ikan (Jadi ketahuan kalo udah tua ya), Negeri Dongeng dst. Bahkan beberapa cerpennya masih terasa lekat dalam ingatan saya sampai sekarang. 

            Di samping majalah bobo bekas, ketika SD saya juga suka membaca novel dan eksiklopedi. Syukur sekali saya dulu khatam ensiklopedi di sekolah sehingga saya jadi tau sedikit hal-hal kecil yang pada akhirnya kelak saya temui ketika saya dewasa. Hobi saya masih berlanjut sampai saya masuk SMP. Saya suka membaca novel-novel di perpustakaan karena kebetulan kelas saya dulu bersebelahan langsung dengan perpustakaan. Sampai-sampai ada novel yang saya pinjam sampai kurang lebih satu semester karena selalu saya baca berulang-ulang. Novel itu bahkan sampai rusak sehingga akhirnya harus saya carikan gantinya di kota.

            Dari sekian banyak banyak buku yang saya baca ,saya mengakui bahwa buku fiksi masih mendominasi tema buku bacaan saya. Meskipun saya tidak memungkiri dulu saya suka sekali baca buku pelajaran IPS sampai-sampai saya hafal nama-nama negara dan ibukotanya serta keadaan geografisnya. Sayangnya kesukaan saya akan membaca mulai menurun ketika saya masuk SMA. Entah karena apa, saya merasa kurang sekali dalam membaca. Saya merasa hanya terpaku pada menghafalkan qur'an dan pelajaran-pelajaran di Aliyah yang memang cukup baru buat saya yang sebelumnya bersekolah di sekolah umum negeri—di Aliyah saya mengambil jurusan agama.

            Ketiak saya kuliah, kegiatan seputar membaca semakin menurun lagi dibanding SMA karena membaca menjadi beban tersendiri justru bagi saya yang mengambil jurusan sastra. Akhirnya pada masa kuliah, saya hanya membaca buku-buku yang harus saya baca sebagai bagian dari kewajiban mata kuliah yang saya ikuti. Buku-bukunya rata-rata seputar teori sastra dan novel-novel klasik yang bahasanya sumpah bikin pusing tujuh keliling. Kalo sudah sudah seperti itu saya milih nyari ringkasan di shmoop—situs penyedia ringkasan-ringkasan novel klasik, astaghfirullah. 

            Ketika saya lulus kuliah saya mulai berusaha membaca lagi. Usaha yang sebenarnya sangat sulit karena selain butuh waktu, tenaga, tapi juga butuh uang yang banyak hehehe. Sampai sekarang usaha itu masih saya lakukan meski saya akui, lagi-lagi meski saya lulusan sarjana, saya masih prefer ke buku-buku fiksi dibanding non-fiksi. Meskipun membaca fiksi atau non-fiksi sebenarnya pun sama bagusnya. 


    Dari sekian buku yang saya baca selama ini, saya ingin bercerita soal 'beberapa buku yang membekas dalam ingatan saya,' berikut di antaranya

    1. Harry Potter and the Socerer's Stone versi terjemahan Listiana Srisanti

            Terlepas dari fakta bahwa saya memang penggemar Harry Potter, Novel ini selalu membekas dalam ingatan saya karena novel ini adalah kado ulangtahun saya kedua belas dari bulek saya. Saya baca novel ini kapanpun di manapun sampai rusak tak bersisa sekarang wkwk. Saya tidak ingin mengulik seputar ceritanya karena sekali lagi saya seorang Potterhead. Ceritanya buat saya jelas sangat bagus. Yang ingin saya ceritakan di sini adalah terjemahannya maka saya sebut 'versi terjemahan.' Novel terjemahan sebagaimana buku terjemahan yang lain, tidak hanya karya dari penulis aslinya, melainkan juga karya dari penerjemahnya. Oleh karena itu penerjemah mempunyai peranan yang sangat besar dalam memberikan pengalaman terhadap pembaca dalam menikmati suatu karya. Banyak orang yang menyerah membaca buku terjemahan tanpa menyelesaikan bukunya karena tidak menikmati gaya penerjemahannya. Penerjemah Harry Potter ini benar-benar memberikan pengalaman luar biasa bagi saya sebagai pembaca karena setiap kalimatnya menurut saya diterjemahkan dengan sempurna. Sehingga hal itu bisa membuat saya menikmati dialog-dialog di dalamnya termasuk jokesnya. Padahal beda jauh ya secara kultural cerita di dalam novel itu dengan realita yang kita rasakan sebagai pembaca. Potterheads di Indonesia khususnya, harus berterimakasih pada Bu Lis ini atas kerja kerasnya. Novel ini juga yang membuat saya semakin menghargai profesi penerjemah yang memang sangat sulit. Penerjemah ibarat penafsir yang mencoba berbagai cara agar terjemah yang dikerjakannya bisa diterima dengan baik oleh pembacanya tanpa mengurangi esensi dan gaya penulisan dari penulis aslinya. 

    2. Antologi Cerpen Jailangkung karya Krishna Mihardja

            Buku ini saya baca pertama kali ketika duduk di bangku sekolah dasar. Saya kira dari judulnya, Jailangkung adalah buku cerita horor, tapi ternyata bukan. Buku ini berisi antologi cerita pendek karya Krishna Mihardja dengan tema besar sosial masyarakat. Cerita-cerita di dalamnya mencoba mengulik tradisi dan kepercayaan masyarakat kita yang masih kental dengan perkara-perkara mitos dan klenik. Isinya penuh pelajaran dan filosofi tapi cukup menyenangkan dibaca meski untuk anak SD seusia saya waktu itu, karena memang tokoh-tokoh di dalamnya rata-rata anak pelajar. Saya bahkan mengkhatamkan buku ini berkali-kali saking menariknya. Cerita pendek dari antologi tersebut yang menjadi favorit saya berjudul Tuyul, Filsafat Hampir, dan Guna-Guna. Sumpah kalo kalian ketemu buku ini wajib sekali kalian baca karena amat bagusnya.

    3. Memoar-Memoar Perjalanan Agustinus Wibowo ; Selimut Debu, Garis Batas, Titik Nol




            Saya membaca buku-buku ini atas rekomendasi sahabat saya, Ulin kucrut. Saya akui memoar perjalanan Agustinus Wibowo bukan buku travel writing biasa. Gaya berceritanya buat saya sangat memukau. Apalagi beliau memang dulunya adalah seorang jurnalis. Negara-negara yang dikunjungi juga bukan negara tujuan wisata pada umumnya. Negara yang dikunjungi adalah negara-negara bekas Uni Soviet. Dengan sudut pandang seorang backpacker, buku ini juga memberikan pengalaman penjelajahan yang berbeda. Bertemu dengan masyarakat aslinya, mengetahui kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi apalagi sebagai negara bekas jajahan Soviet, Agustinus Wibowo benar-benar membawa pembacanya menelusuri jejak kemelaratan di negara dunia kedua. Apalagi ditambah kepiawaian penulis dalam mengambil potret juga menambah representasi dan referensi dari ceritanya. Setiap halamannya adalah tulisan berharga yang sayang dilewatkan. Cerita di dalamnya adalah pelajaran-pelajaran yang rugi untuk diabaikan. Saya pastikan kalo beliau menulis buku lagi, saya pasti akan beli. Pasti! 

    4. 21 Lessons for the 21th Century karya Yuval Noah Harari

    Saya sudah punya tulisan sendiri yang membahas buku ini. Baca yaaa 21 Lessons for the 21st Century: Seni membela diri ala Yuval Noah Harari

    5. Sang Pemimpi dari Andrea Hirata

            Novel ini adalah seri kedua dari tetralogi Laskar Pelangi. Seumur-umur, saya baca ini dua kali. Pertama saat saya SMP, kedua ketika saya kuliah. Membaca novel ini pertama kali rasanya biasa saja, karena memang tujuan saya waktu itu memang menyelesaikan keeempat-empatnya, jadi tidak terlalu saya hayati tulisan-tulisannya. Tapi ketika saya membaca untuk kedua kalinya, saya mencoba hayati gaya bahasanya. Saya resapi kata-katanya. Ujungnya apa? saya menangis. Dasar sentimental. Saya jadi tidak heran dengan salah satu sahabat saya dulu, yang memang suka puisi, tergila-gila pada tulisan-tulisan Andrea Hirata. Bila ada kesempatan, saya ingin ulangi lagi membaca keempat seri dari Tetralogi ini.  

    6. Chicken Soup for the Preteen Soul dan Chicken Soup for the Kids Soul




            Buku ini secara harfiah berarti sop ayam untuk jiwa praremaja dan anak-anak. Kenapa sop ayam? sop ayam adalah comfort food orang barat, ibarat bakso mungkin kalo di Indonesia. Makanan yang menimbulkan kenyamanan bagi yang memakannya. Nah buku ini, ingin menimbulkan perasaan nyaman bagi pembacanya, maka mereka mengambil judul chicken soup. Ngomong-ngomong, buku ini mempunyai banyak seri. Ada yang untuk remaja, pra remaja, untuk kristian, untuk Afro-American dan seterusnya. Banyak banget. Apakah buku ini bagus? Bagus banget sih. Terutama yang sudah saya baca. Sangat memberikan insight baru soal cara kita melihat dunia. Buku ini juga yang membuat saya tahu lebih awal soal mental illness pada remaja jauh sebelum mental illness jadi topik pembicaraan akhir-akhir ini. Oya seri anak-anak sama pra remaja ini bentuknya beda ya. Kalo yang anak-anak pake ilustrasi gambar gitu semacam komik, jadi lucu banget. Ilustrasinya juga bagus banget pake style ala anime ghibli. Sedangkan yang untuk pra remaja, formatnya adalah tulisan-tulisan kiriman dari remaja-remaja yang mengalami guncangan-guncangan dalam hidupnya. Dua-duanya bagus dan menyentuh hati. Buku ini bikin saya sampai bela-belain pinjem ke perpus kampung sebelah.

    7. Tsukuru Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya karya Haruki Murakami

        Kalau kalian ingin mencoba membaca karya-karya Murakami, maka bisa dimulai dengan novel ini. Novel Tsukuru tanpa warna tidak terlalu tebal pun tidak tipis juga. Novelnya menceritakan soal medioker yang galau karena dirinya sama sekali tidak menonjol dibanding teman-temannya yang lain. Pesan saya jangan membaca ini ketika lagi galau ya. Karenan perasaan yang saya dapatkan setelah selesai membaca ini rasanya kosong. Tapi terlepas dari itu novel Murakami selalu punya ciri khas yang istimewa untuk dinanti. Oya novelnya mengandung konten dewasa dan ada yang hampir ngarah ke suicide, jadi mungkin perlu agak 'waspada' hehe. Buku bagus tapi karena after tastenya, saya belum berminat baca untuk kali kedua dan seterusnya.

         

    8. Di Tanah Lada karya Ziggy Zesyazeoviennazabrizkie




            Saya awalnya nggak terlalu tertarik sama karya Ziggy. Tapi suatu hari saya tiba-tiba terdorong untuk beli dan baca. Saya menyelesaikan bukunya dalam waktu satu hari. Setelah khatam, saya baru sadar kenapa buku-bukunya laris di pasaran. Gaya ceritanya tidak biasa, nama-nama tokoh yang diambil juga tidak biasa. Dan jalan ceritanya pun tidak biasa. Oiya jangan tertipu dengan sampul dan judulnya yang lucu, karena isinya nggak ada lucu-lucunya sama sekali. Tapi kalo ada uang, saya pengen beli dan baca semua buku-bukunya Ziggy.

    9. the Years of the Voiceles karya Okky Madasari

                                                         

            Novel ini sebenernya versi Inggris dari novel Okky berjudul Entrok. Entrok sendiri artinya kutang / underwear wanita (semacam bra). Saya sendiri memang baca versi Inggrisnya karena kebetulan diskon hampir 90 persen di Gramedia. Novel ini menceritakan perjuangan Marni, perempuan miskin yang juga penghayat keyakinan animisme. Seperti judulnya, years of the voiceless, tahun-tahun tanpa suara, Marni semenjak awal perjuangannya selalu dibungkam suaranya oleh orang yang lebih otoritatif karena statusnya sebagai kaum marjinal; perempuan, miskin, dan seorang penghayat keyakinan. Membaca novel ini membuat saya lebih berusaha lagi menjadi manusia sebaik-baiknya dengan memanusiakan orang lain dengan memahami sudut pandang kaum minoritas terutama penghayat keyakinan, yang di Indonesia sendiri sebenanya tidak terhitung jumlahnya namun jarang diketahui karena mereka tidak bisa mengakuinya di kartu kependudukan mereka. Btw, novel-novel Okky yang lain juga sangat menggugah hati dan tidak jauh-jauh dari representasi kaum-kaum minoritas. Menurut saya perlu dibaca untuk memperkaya sudut pandang agar kita semakin berempati pada orang lain.

    10. Animal Farm karya George Orwell


            Kayaknya nggak perlu banyak saya jabarkan karena novel ini sangat populer ya. Secara garis besar, dengan cerita berbentuk fabel, novel ini adalah alegori yang menggambarkan rezim komunis di Rusia di bawah kepemimpinan Stalin. Tagline yang sangat fenomenal dari buku ini, All Animals Are Equal / But Some Are More Equal Than Others, semua hewan adalah setara, tapi beberapa lebih setara dibanding yang lain. Isinya sudah jelas sih, kemuakan penulis terhadap rezim mereka. Bagus banget tapi buat saya cukup saya baca sekali aja.


    *Semua foto buku bukan koleksi pribadi, silahkan klik link-nya ya kalo mau tau sumbernya
    Continue Reading

     



    21 Lessons for the 21st Century atau yang secara harfiah berarti 21 pelajaran untuk menghadapi abad ke 21 merupakan karya ketiga Yuval Noah Harari setelah dua karya monumentalnya, Sapiens dan Homo Deus. Yuval Noah Harari sendiri adalah profesor sejarah dunia dari Israel, sekaligus alumni program doktor Universitas Oxford.


    So, What is it about?

    Seperti judulnya, buku ini memuat hal-hal yang menurut Harari penting untuk diperhatikan terutama untuk gen Z  demi menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk di abad 21. Meskipun buku ini dan buku sebelumnya saling berkaitan erat, kita nggak perlu-perlu banget untuk baca buku-buku sebelumnya demi bisa menikmati isinya.


    How about the content?

    Wait, cerita dikit, haha. Jadi ini buku adalah buku Harari kedua yang saya baca setelah Homo Deus. Dan FYI, saya gagal untuk menamatkan Homo Deus karena somehow it is bored and I can’t get hook up on the topic. Rasanya, it is not my cup of tea. Kemudian suatu hari, entah kerasukan apa, saya yang super bingung pas masuk periplus mau beli buku apa, tiba-tiba memilih lagi-lagi karya Harari karena saya lagi nggak mau buang-buang uang untuk sesuatu yang cepat habis–buku fiksi kan cepet banget ya abisnya karena adiktif haha. Singkat cerita, pada akhirnya saya baca ini. Beda dari buku-buku non-fiksi saya yang sebelumnya saya baca, saya bener-bener prepare banget untuk baca buku ini–prepare otak dan pensil haha karena selain topiknya yang berat, ini kan Inggris ya buk, nggak setiap kata saya tau artinya kaaan. Saya juga baca buku ini bener-bener rinci mulai dari testimoni experts, profil pengarang, dedikasi, acknowledgements sampai ke intronya sebelum saya masuk ke contentnya. Pada momen membaca perintilan-perintilan inilah saya menyadari bahwa this one is totally different dari buku yang sebelumnya gagal saya selesaikan. Why? tentu saja segi bahasanya! Buku sebelumnya, Homo Deus, saya baca dalam versi Bahasa Indonesia, sementara 21 Lessons saya baca dalam versi Bahasa Inggris alias bahasa original bukunya. It’s widely known ya, bahwa versi terjemahan dan versi asli pasti feelnya beda apalagi kalo penerjemahnya emang kurang bisa menyampaikan feel dan nuance dari buku aslinya. Pas baca Homo Deus, saya bloon parah dan ngerasa pening banget semakin kesana untuk memahami bukunya. Tapi yang satu ini, rasa curious saya malah semakin menjadi-jadi di setiap halamannya. Saya jadi sadar, Harari ini dalam bayangan saya oke banget kalo lagi ngasih kuliah. Bahasa penyampaian di bukunya kece parah karena kita bener-bener diajak dialog secara nggak langsung dengan gaya penyampaian ala-ala Ted Talk gitu. Contoh-contoh yang dia sajikan bener-bener real dan relate sama apa yang penduduk dunia alami saat ini. Dia sering banget menyajikan pengalaman-pengalaman pribadi dia sebagai seorang laki-laki, gay, ateis, Israel, dan sejarawan. Ini yang bikin buku ini jadi terasa valid dan mengakomodir banyak suara-suara minoritas di luar sana. However, kadang saya jengah sendiri kalo dia sudah mulai menunjukkan ketidak percayaannya soal narasi-narasi liberal dsb. Jadi buku ini fun and sickening at the same time. 

    Terdiri dari 5 bab dan 21 sub bab, ada sangat banyak topik yang dia bahas mulai dari Tuhan sampai AI atau kecerdasan buatan. Secara ringkas, menurut Harari, di abad 21 dunia akan menghadapi setidaknya 3 bencana besar yakni dominasi AI, perang nuklir dan bencana ekologi karena perubahan iklim. Oleh karena itu, dunia yang anarki ini perlu bersatu untuk menghadapinya. Lebih lanjut lagi menurut Harari, kita harus berhenti percaya atau setidaknya berhenti terlalu fokus pada narasi-narasi yang menurutnya fiksi seperti Tuhan, dogma agama, nasionalisme, ritual-ritual dst karena hal itu membangun sekat antar manusia dan menimbulkan banyak perselisihan. Sebagai sintesisnya, Harari menawarkan sekularisme beserta keunggulan-keunggulannya,

    “Secular Science has at least one big advantage over most traditional religions, namely that it is not terrified of its shadow , and it is in principle willing to admit its mistake and blindspot.”

    Harari menekankan bahwa baginya, sekularisme adalah narasi paling masuk akal untuk menghadapi dunia abad 21 karena ia tidak bias pada dogma tertentu. Sekularisme bersifat netral karena prinsip utamanya adalah compassion over obedience, belas kasihan di atas kepatuhan. Sekularisme tidak hanya milik orang atheis, tapi bagi siapapun yang percaya bahwa kebaikan adalah selama tidak merugikan orang lain. “Secular people abstain from murder not because some ancient book forbids it, but because killing inflicts immense suffering on sentient beings.” (Harari, p. 239) Menjadi sekuler, seseorang tidak harus menjadi ateis, menghilangkan ritual-ritual keseharian atau melepas atribut keagamaan. Dalam kalimat pamungkas di bab secularism, dia juga menantang para agamais untuk melakukan otokritik terhadap flaws dalam kepercayaan mereka.

    Harari juga membantah adanya free will dalam diri setiap manusia karena tidak pernah ada manusia yang benar-benar punya kehendak bebas. Kehendak dalam diri manusia selalu disetir oleh proses biokimia yang terus terjadi sepanjang hidup kita. Termasuk soal sexual attraction yang dialami Harari. Makanya saya katakan bahwa buku ini isinya argumen self-defensenya Harari. Pokoknya Harari vs the wordlah.

    Sebenernya niih, hampir semua kepercayaan dan ideologi diserang habis sama si Harari ini. Bahkan dia mengkritik Israel juga. Jadi santai aja baca ini guisss. Nggak usah kedistract sama argumen-argumennya. Just stand up for yourself ajaa. Kalo kalian termasuk orang religius, nggak usah heran sama argumen-argumennya yang bersifat materialis banget, karena dia emang seenggak percaya itu sama dunia metafisika. 


    How do I rate this book?

    5/5. Buku ini nagih banget dari segi isi dan bahasa penyampaiannya. No need to be in his side untuk jatuh cinta sama buku ini. Rasanya kayak baca buku teori konspirasi tapi in a scientific way. Seru dan adiktif di setiap halamannya. Meski banyak hal-hal yang mungkin kontradiktif dengan nilai-nilai yang kita percaya, tapi masih lebih banyak nilai-nilai positif yang bisa kita ambil hikmahnya.

    Continue Reading

    Aku lahir di kampung Sukamaju. Sebuah nama yang sangat mainstream bukan untuk sebuah kampung? Mungkin nama kampungku mengingatkan kalian dengan nama desa di buku pelajaran SD kalian. Tidak, tidak. Nama kampungku tidak terinspirasi dari buku pelajaran SD. Karena Mbah Joyo, perintis kampungku, konon bahkan tidak menyentuh bangku sekolah. Namun ia tahu, maju berarti bergerak ke depan. Maka ia namakan kampung kami Sukamaju.
    Sukamaju adalah kampung yang cukup majemuk, ada keluargaku yang suku Jawa, keluarga Inong yang pindah dari Aceh, keluarga Ustadz Anto yang penganut Islam taat atau keluargaku yang Islam moderat. Tak ketinggalan pula keluarga si cantik Kristina, teman sekelasku di bangku sekolah dasar, yang merupakan pelayan gereja yang setia. Keluarganya juga bukan satu-satunya umat nasrani di kampungku.
    Dengan segala perbedaanya, kampungku boleh dibilang cukup kondusif. Tak ada yang terganggu dengan suara keras toa musholla, atau merasa tergerus keimanannya dengan kerasnya paduan suara di kapel mungil dekat rumah Kristina.
    Setidaknya sampai dua tahun lalu.
    ****
    Saat itu aku baru saja diterima di sebuah perguruan tinggi bergengsi di Malang. Ketika kulihat berita headline sebuah berita di Koran, seorang mantan kepala daerah ditahan karena dianggap menista sebuah agama. Aku sebenarnya bukan orang yang melek dengan situasi sosial-politik di Indonesia. Berhubung sejak SMA, minatku di pengetahuan alam. Bahkan sampai sekarang. Tapi headline berita itu mendorongku untuk browsing lebih lanjut.
    Kudengarkan dengan seksama pidato yang mana yang membuat mantan kepala daerah itu dianggap menista agama. Lah gini aja? Batinku. Setelah itu aku tak terlalu mengikuti perkembangan kasus itu lagi. Yang kutau, mantan kepala daerah itu mendekam dua tahun di penjara. Ah yasudahlah, batinku lagi. Mungkin jaksa lebih tahu. Mungkin diksinya memang salah. Atau mungkin niatnya memang melecehkan agama itu. Agamaku. Islam.
    Dua bulan kemudian, di masa liburan semester, aku pulang ke kampungku. Sukamaju. Aku rindu bapak dan ibu. Aku rindu Inong, dan tentu saja, aku sangat merindukan Kristina. Mereka, Inong dan Kristina, dua gadis manis yang sudah jadi sahabatku semenjak sekolah dasar.
    Perjalanan Malang ke Jogja terasa sangat panjang, aku tidak sabar lagi. Maka segera saja ku chat Kristina dan Inong melalui whatsapp. Aku sampai Jogja jam 5 sore.
    Aneh. Kristina terakhir online dua bulan yang lalu. Sedangkan Inong tak juga membalas chatku. Meski kami bersahabat, memang semenjak kuliah kami jarang bertukar kabar, apalagi praktikum dan berbagai kompetisi menyita waktuku. Meski begitu, kejadian-kejadian penting dalam hidupku selalu kuceritakan pada mereka. Begitu pula sebaliknya.
    Pikiranku tidak tenang. Pertanyaan-pertanyaan mencuat dalam kepalaku. Ada apa sebenarnya.
    ***
    Keputusan bapak dan ibu sudah bulat. Aku akan masuk pesantren. Aku tidak masalah. Belajar di manapun sama saja.
    Maka hari itu, 6 tahun lalu, aku menginjakkan kakiku ke pesantren asuhan Yai Ahmad di Malang. Pesantren Yai Ahmad adalah pesantren kitab salaf. Di mana ilmu agama sangat dijunjung tinggi dan kyai amat sangat disegani.
    Bekal sedikit pengetahuan tentang kitab kuning dari bapak, membuatku menyerap cepat ilmu yang diajarkan di sana. Maka dalam kurun waktu 6 tahun, 1000 bait Nadzam alfiyah ibn Malik sudah kuhafalkan. Dan puluhan kitab sudah kupelajari. Aku jadi santri kesayangan Yai Ahmad. Ke mana-mana beliau pergi, selalu ada aku yang mengantar beliau.
    Sampai suatu ketika, Yai Ahmad memanggilku ke ndalem, dini hari sekitar pukul 3 pagi. Aku terkesiap. Tidak biasanya. “Assalamu’alaikum yai,” ucapku mengetuk pintu kamar beliau. “Mlebuo (masuklah).” “Nang, anakku wadon wis nembe lulus (nak, anak perempuankuk baru saja lulus”.” Firasatku tak baik. “Awakmu ora ana calon tah? (kamu tidak ada calon istri kan?)” Benar saja. Aku diam. Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku tidak mencintainya. Putri kiaiku. Terlintas dalam pikiranku saja tidak.
    Hari itu, pikiranku benar-benar tidak tenang. 6 tahun pengabdianku kepada Yai, tidakkah cukup? 6 tahun pengabdianku pada beliau, berujung seperti ini? Ah, aku ingin berkata kasar.
    Akhirnya hari itu juga, aku mantap berkata tidak pada Yai Ahmad. Detik itu juga aku pamit. Aku sakit hati. 6 tahun pengabdianku, tidak berarti apa-apa rupanya di mata beliau. Beliau murka.
    Tapi biarlah, bagiku mencintai adalah hak asasi. Sekali hakku terenggut, aku berhak pula membelanya. Aku tak peduli beliau tak merelakanku. Aku ingin memperjuangkan cintaku.
    Aku pindah ke kost dekat kampus. Aku ingin melupakan semuanya. Melupakan pesantren dan semua kenangannya.
    ***
    Aku dan Inong berteriak di luar pagar rumah Kristina sambil membawa ember bekas dan dirigen bekas. “Kristinaaaaa, ayolaaah.” Pintu rumahnya terbuka. Pak Frans. Ayah Kristina. Aku tersenyum, Inong tersenyum. Pak Frans hanya tertawa. “Kristinaaa, gek ooo (buruan)” Kristina keluar sambil menguap dan mengucek matanya yang masih penuh tai mata. Aku tertawa. Dia tetap cantik, batinku. Matanya berbinar melihat bawaan kami.
    “Sahur-sahur…” Teriak Kristina. Suaranya memang merdu, bahkan untuk sekedar berteriak saja. “Kau sudah kerjakan PRmu?” aku menoleh. “Sudah dong. Cuma perkalian peacahan mah, gampang.” Kataku. “Dasar!!!” Balas Inong sambil menjitak kepalaku. “Apa! Awas kau minta ajar aku nanti.” Balasku sambil tertawa. “Kau mau balas jitak kepalaku?” “Tentu tidak, aku ‘kan menghargai teman perempuanku.” Sahutku sampil sambil menepuk dada.
    ***
    Kutelpon Inong berkali-kali. Ia tak mengangkatnya sama sekali. Padahal beberapa kali tadi dia sempat online. Tiba-tiba notifikasi WA muncul. Inong! Kita bertemu di Kopi Sonja dekat Malioboro, begitu sampai. Singkat. Ada apa sebenarnya? Biasanya bila aku pulang ke Jogja, begitu mengirimkan chat pada Kristina dan Inong, mereka akan membanjiri chatku dan langsung menelponku. Telepon video. Bertiga. Tapi sekarang, Inong hanya membalasku dengan chat singkat. Sedangkan Kristina, bahkan tidak aktif sejak lama. Pikiranku tambah kalut.
    ***
                Bapak seorang pribadi yang sangat ramah meski perangainya sebenarnya keras. Bapak sangat dekat dengan tetangga lapaknya di Malioboro yang keturunan Cina. Ko Tian namanya. Ko Tian sering bertandang ke rumahku. Bercengkerama dengan bapak. Bicara banyak. Sambil menghisap lintingan tembakau yang ia bawa sendiri dari rumahnya. Terkadang aku duduk di antara mereka. Menyimak obrolan mereka sambil memangku dagu dengan tanganku. Karena apa yang mereka obrolkan, satupun tak  ada yang aku tahu. Aku hanya mengingat kata-kata menarik dalam obrolan mereka, pluralisme. Kata-kata yang kelak akan sangat familiar di masaku.
                Aku ingat sekali, waktu itu masa-masa pemilihan presiden. Bapak dan Ko Tian berbeda pilihan. Tapi bapak selalu mengatakan pada Ko Tian, “aku menghormati pilihanmu dalam pemilu, sebagaimana aku menghormati pilihanmu dalam keyakinanmu.” Dan setelah mengucapkan kalimat itu, bapak menyesap kopinya dalam. Ko Tian tersenyum.
    ***
    Kopi Sonja, Januari 2017
    Langit gelap. Hujan deras di luar. Klakson bersautan. Orang-orang sudah mulai jengah di jalanan. Begitu tiba, Aku mencari ke seluruh penjuru kafe kecil itu. Inong, sahabatku, duduk termenung di dekat jendela.
    Saat kuhampiri, aroma caramel macchiato menyeruak. Rupanya masih Inong yang sama. Hanya raut mukanya yang berbeda.
    “Inong.” Dia agak terkejut. Habis melamun rupanya. “Kenapa di sini?” “Kristina pergi. Keluarga Kristina pergi. Begitu pula Noel, Adrianus, Brigitta.” Ekspresinya datar tapi tangannya bergetar. Firasatku benar. Ada yang tak beres. Lalu mengalirlah cerita Inong. Tak sekalipun ia berhenti. Pun aku. Tak sekalipun memotong. Bahkan secangkir Americano yang kupesan sampai dingin tak tersentuh.
    Kristina dan keluarga nasrani yang lain diminta pergi. Mereka terang-terangan mendukung mantan kepala daerah ‘penista agama’ itu. Ustadz Anto geram. Ia menuduh mereka penista, melakukan kristenisasi, dan lantunan pujian mereka dianggap mengganggu warga.
    Mata Inong berkaca-kaca. Sedangkan aku? Mataku merah. Aku marah. Aku marah pada orang-orang Sukamaju, marah pada bapak, ibu, Ustadz Anto dan yang lain. “Kamu marah?” “Tentu saja,” kataku. “Di mana Kristina sekarang?” “Aku tak tahu. Terakhir, kudengar keluarga mereka memutuskan ke Jakarta.” “Ah, shit”
    ***
    Hatiku membuncah bahagia
    Ketika kedengarkan suaramu
    Melantunkan pujian merdu
    Pada yang kau sebut dengan Bapa
    Rasanya semenggetarkan hatiku
    Ketika kudengar lantunan mereka
    Yang meliuk-liuk
    Melanggamkan ayat-ayat magis kitab suciku
                
                 “Pak, aku akan ke Jakarta,” tandasku tiba-tiba. “Untuk apa?” “Menemui Kristina,” jawabku mantap. “Kau mencintainya?” “Ya.” “Kau pilih Kristina, maka selesai sudah hubungan kita nak. Bapak sudah cukup menahan kesabaran ketika kau menolak dhawuh Yai Ahmad. Dan sekarang? Namanya kau menggadaikan imanmu.” Bapak murka. Sangat murka. Sekeras apapun beliau, tak pernah ia menunjuk-nunjuk mukaku. Matanya memerah. Ia menangis. Satu-satunya anak yang ia harapkan, meruntuhkan semua harapannya. Di sudut rumah, ibu terisak.
                Aku tak peduli. Aku terlanjur marah pada bapak atas kepergian keluarga Kristina. Bapak menghargai pilihan orang. Tapi itu dulu. Sekarang, bahkan pilihan anaknya pun tak ia hiraukan.
                Maka siang itu, kukemasi seluruh bajuku. Bapak memalingkan muka. Ibu menangis terisak sambil masih terus membujukku. Aku memeluk ibu. Kukatakan bahwa aku tetap  mencintainya, mencintai bapak, menghormati mereka, sejauh apapun hubunganku dengan mereka. Tapi aku sudah membulatkan tekadku. Aku akan ke Jakarta. Aku akan menemukan Kristina. Akan kukatakan padanya bahwa aku mencintainya.
    ***
    Begitu tiba di Stasiun Senen, aku langsung memesan taksi menuju alamat yang terngiang dalam kepalaku. Alamat yang selalu diceritakan Kristina dalam chatnya. Sebuah Gereja Mungil. Gereja Sion namanya. 15 menit perjalanan terasa begitu lama.
    Ketika sampai di sana, ternyata sedang ada acara. Kata seorang penjaga di sana, itu upacara kematian. Oh begitu, batinku.
    Tapi begitu kulihat lamat-lamat karangan bunga berjejer di depan gereja. Lututku lemas. Elizabeth Lusia Kristina. Itu nama Kristina. Kristinaku yang kucinta. Kristina ku telah pergi. Sebelum aku mengatakan aku mencintainya. Sebelum aku  minta maaf padanya. Minta maaf untuk semuanya.
    Aku telah meninggalkan kedua orangtuaku, membuat marah kyaiku, dan kini Kristina meninggalkanku. Aku sendirian.



    *Karya ini merupakan sedikit pengubahan dari karya yang kukumpulkan untuk kelas Creative Writing di jurusanku
    Continue Reading
    Perspektif Realisme dalam Memandang Konflik Amerika Serikat dan Turki


    Hasil gambar untuk konflik Amerika dan Turki
    Presiden AS, Donald Trump dan Presiden Turki, Recep  Tayyip Erdogan
    (sumber:www.voaindonesia.com)

    Sebagai dua negara yang sama-sama menjadi bagian dari NATO (North Atlantic Treaty Organization), hubungan Amerika Serikat dan Turki sudah mempunyai sejarah yang cukup panjang meski sebenarnya hubungan diplomatik keduanya sudah jauh terjadi sebelum terbentuknya NATO yakni sejak 1831 ketika AS membangun hubungan diplomatik dengan kekaisaran Ottoman atau Kesultanan Utsmaniyah. Kemudian, setelah Perang Dunia pertama dan berdirinya republik Turki, AS resmi menjalin hubungan diplomatik dengan Turki pada tahun 1927 (US Relation with Turkey, par. 1)
    Namun, baru-baru ini hubungan keduanya kian memanas. Hal ini berawal karena Turki menangkap seorang pendeta berkebangsaan AS dalam operasi penumpasan besar-besaran disusul setelah adanya dugaan usaha kudeta terhadap presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan pada musim panas 2016.  Brunson dituduh sebagai anggota mata-mata dan punya andil membantu jaringan terorisme di Turki karena mempunyai keterkaitan dengan musuh utama Erdogan, Fethullah Gulen seorang ilmuwan Turki yang juga pemimpin FETO, organisasi yang dicurigai sebagai kelompok terorisme oleh pemerintahan Erdogan. Penangkapannya memicu kemarahan Gedung Putih di Washington DC, Amerika Serikat. Tuduhan tersebut dianggap terlalu lemah, sehingga pemerintah AS meminta pemerintah Turki untuk membebaskan Brunson. Dalam negosiasi tersebut, akhirnya Turki mau membebaskan Brunson dengan syarat, AS mau mengekstradisi Fethullah Gulen. Meski permintaan Turki dikabulkan, namun Turki mengingkari janjinya untuk membebaskan Brunson. Brunson hanya dibebaskan dari penjara namun menjadi tahanan rumah di Turki dan tetap dipantau oleh pemerintah. Akibat hal tersebut, pada Agustus 2018 Donald Trump sampai menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap dua menteri utama Turki, Menteri Hukum dan Kehakiman serta Menteri Dalam Negeri, dengan membekukan aset dan properti mereka serta mencegah mereka melakukan transaksi dengan unit usaha AS. Meski pada akhirnya Brunson dibebaskan pada Oktober 2018, konflik tersebut belum juga reda.
    Konflik yang pada awalnya terlihat sepele ini menimbulkan konflik-konflik yang lebih besar yang melibatkan Turki dan Amerika dan bahkan berdampak pada keadaan perekonomian Turki. Sanksi lanjutan AS akibat konflik tersebut yang menaikkan tarif impor baja dan aluminium dari Turki telah melemahkan mata uang Turki, Lira pada titik terendah dalam satu dasawarsa terakhir. Dikutip dari CNN.com, sanksi tersebut direspon sengit oleh Pemerintah Turki dengan mengintensifkan serangan dagang yakni menaikkan tarif tinggi terhadap barang-barang asal AS seperti mobil, alkohol dan rokok.
    Dalam Ilmu Hubungan Internasional, terdapat beberapa teori yang bisa digunakan untuk mengkaji konflik antara AS dan Turki ini. Salah satu teori yang sangat populer adalah realisme. Realisme adalah teori paling klasik yang sudah muncul sejak zaman Yunani kuno. Sebagaimana dikutip dari The Oxford Handbook of International Relations (2010), teori ini berpusat pada empat gagasan utama: groupism, egoism, anarchy, dan power politics. Yang dimaksud dengan groupism di sini adalah bahwa dalam realisme solidaritas grup mempunyai peran yang amat penting dalam politik domestik, konflik, kerjasama antar pemerintah dalam esensi hubungan internasional. Egoism mengacu pada ungkapan bahwa egoisme merupakan sifat dasar alamiah manusia. Ketika seorang individu atau kelompok mengambil sikap politik umumnya didasari pada kepentingan pribadi. Sedangkan anarchy adalah gagasan bahwa pada dasarnya sistem politik internasional tidak memiliki pemerintah berdaulat yang mengatur sistem tersebut.. Bertumpunya egoism dan groupism tersebut dalam sebuah kondisi yang anarki memicu hubungan internasional berdasarkan pada politik kekuasaan dan keamanan. Perlu diketahui juga bahwa groupism dan egoism dapat digunakan baik dalam politik domestik maupun internasional.
    Untuk memahami konflik antara AS dan Turki, ada tiga level analisis yang dapat dipakai; negara, individu, dan sistem. Dalam hal ini maka akan digunakan salah satu saja dari ketiga level analisis tersebut yakni, level individu dengan berfokus pada pribadi presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Erdogan adalah presiden Turki yang menjabat sejak 2014. Sebelumnya ia juga menjabat sebagai Perdana Menteri Turki sejak 2003. Hal ini terjadi karena sebelumnya, kepala pemerintahan Turki (perdana menteri), dipilih oleh parlemen. Pada tahun 2014, untuk pertama kalinya setelah 91 tahun, Turki menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Pada pemilu kedua di tahun 2018, Erdogan kembali terpilih menjadi presiden Turki dengan unggul sebanyak 55 persen dari lawannya, Muharrem Ince (Tirto.id). Di bawah kepemimpinannya, Turki yang awalnya dipandang sebelah mata berhasil menjadi negara dengan ekonomi terkuat ketujuh di Eropa. Maka tidak heran jika dalam total 14 pemilihan termasuk dua pemilihan presiden, dia selalu menang. Sehingga total masa kepemimpinannya berjumlah kurang lebih 16 tahun. Namun dalam konsep penyelenggaraan negara di Turki, presiden hanyalah simbol kepala negara, penentu segala kebijakan adalah perdana menteri. Erdogan yang sebelumnya sudah menjabat sebagai perdana menteri selama 11 tahun ingin mengubah hal tersebut guna mempermudah tujuannya. Hal inilah yang membuat oposisi Erdogan menuduh ia ambisius dan mulai bertindak diktator.
    Berkaitan dengan konflik bilateral AS dan Turki, jika dirunut secara hati-hati hingga ke akar permasalahan, konflik ini sebenarnya berangkat dari hubungan buruk Erdogan dengan koleganya, Fethullah Gulen. Padahal keduanya, awalnya merupakan karib yang sama-sama punya andil dalam membangun jaringan politik Islam di Turki. Jika kita mempelajari sepintas tentang sepak terjang Gulen, ia adalah seorang ulama yang cukup disegani di Turki. Gulen mempunyai peran dalam mengembangkan organisasi non-profit yang manfaatnya banyak dirasakan oleh masyarakat luas. Dalam hal politik, Gulen juga punya peran penting terhadap keberhasilan Erdogan menjadi perdana menteri pada tahun 2003. Sebelumnya, Gulen terkenal aktif dalam melawan ideologi sekuler yang berkembang di Turki, hal itu pula yang menyebabkan kepindahannya ke Pennsylvania, AS pada tahun 1999. Pengaruhnya yang cukup kuat membuatnya mempunyai cukup banyak pengikut setia baik di dalam maupun di luar pemerintahan.
    Pada dasarnya Erdogan dan Gulen berangkat dari ideologi yang hampir sama yang pada intinya adalah melawan ideologi sekuler. Hal itu pula yang membuat mereka menjadi sekutu politik yang cukup dekat. Namun entah karena apa, belum jelas hingga saat ini mereka berseteru. Yang jelas Gulen dianggap menjadi dalang dibalik berbagi aksi kudeta terhadap pemerintahan Erdogan. Menurut sumber tirto.id, surat penangkap Gulen diterbitkan pada Agustus 2016. Salah satu isinya menyebutkan bahwa Gulen memerintahkan kudeta 15 Juli. Pada 15 Juli sendiri memang terjadi kudeta oleh militer Turki yang menyebabkan 238 orang tewas dan 2.200 lainnya terluka. Ribuan orang di posisi kehakiman, militer dan kepolisian dimutasi dari jabatan mereka dan setidaknya 18.000 orang ditahan karena diduga terlibat kudeta .
    Banyak dugaan bahwa Erdogan menjadikan Gulen sebagai kambing hitam dari aksi kudeta Turki lebih karena dendam pribadi. Hal ini berdasarkan pernyataan Gulen sendiri.
    Peristiwa yang terjadi di Turki, yang pada akhirnya menyeret negara tersebut ke dalam pusaran konflik dengan Amerika Serikat, sedikit banyak membuktikan teori realisme dalam melihat human nature atau sifat dasar manusia yang selalu ingin berkuasa dan menjadi lebih dominan dibanding yang lain. Bahwa sikap-sikap yang diambil sebuah negara merupakan cerminan dari siapa yang memimpinnya. Keputusan Erdogan untuk menahan Brunson sebagai buntut perlawanannya terhadap segala hal yang berkaitan dengan Gulen, boleh dikata adalah sebuah bentuk keegoisan. Dan perlawanannya terhadap Gulen didasarkan pada kepentingan pribadinya untuk mengamankan dan melanggengkan posisinya sebagai presiden.
    Sedangkan apa yang mendasari Trump dan pemerintah AS dalam menyerang balik kebijakan Turki bisa jadi adalah sebuah bentuk solidaritas. Tidak saja karena Trump berkewajiban melindungi warga negaranya, tapi juga bentuk solidaritas sebagai sesama warga negara Amerika Serikat.



    Bibliografi:

    Firman, Tony. (2018). Kemenangan Erdogan dan Kebangkitan Partai Kiri di Turki. Tirto.id. 02 Juli 2018. Diambil dari tirto.id/kemenangan-erdogan-dan-kebangkitan-partai-kiri-di-turki-cNct.
    Sudiaman, Maman.(2016). Erdogan, Kudeta, Sekularisme, dan Tuduhan pada Gulen. Republika. 18 Juli 2016. Diambil dari www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/07/17/oagay6319-erdogan-kudeta-sekulerisme-dan-tuduhan-pada-gulen
    Sulistiani, Rima. (2016). Turki perintahkan tangkap Fethullah Gulen. Tirto.id. 5 Agustus 2016. Diambil dari tirto.id/turki-perintahkan-tangkap-fethullah-gulen-bxAe
    “US relation with Turkey”. US Department of State. Diambil dari www.state.gov/u-s-relations-with-turkey/
    Wohlfort, William C.. (2010). Realism. In Reus-Smit, Christian and duncan Snidal (Eds), The Oxford handbook of international relations (pp. 132) . Oxford, UK: Oxford University Press.

    Continue Reading
    Hello!

    A simple hello could lead to a million things.
    -Anonym-



    Continue Reading
    Newer
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Widdat Ulya Medioker

    Manusia biasa dengan kemampuan rata-rata

    Follow Us

    • twitter
    • pinterest
    • instagram

    Labels

    Hobby Journal Junk Opinion

    recent posts

    Blog Archive

    • Februari 2025 (1)
    • Januari 2024 (1)
    • Oktober 2023 (2)
    • Juni 2023 (2)
    • Mei 2023 (1)
    • Agustus 2022 (1)
    • Januari 2020 (1)
    • September 2019 (1)
    • Juni 2018 (1)

    Popular Posts

    • 'Educated' : Perjuangan Tara Westover Membebaskan Diri dari Keluarga Fanatik-Konservatif
    • Tentang Ibu

    Most Popular

    • 'Educated' : Perjuangan Tara Westover Membebaskan Diri dari Keluarga Fanatik-Konservatif
    • Tentang Ibu



    Twitter instagram pinterest

    Created with by BeautyTemplates

    Back to top